Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Marak Penindasan dan Pelecehan oleh Atasan, "Alat Mata-mata" Laku Keras di Korea Selatan

Kompas.com - 04/09/2019, 11:55 WIB
Agni Vidya Perdana

Penulis

Sumber Reuters

SEOUL, KOMPAS.com - Maraknya kasus penindasan dan pelecehan oleh atasan terhadap para pekerja di Korea Selatan, telah turut mendorong meningkatnya angka penjualan perangkat "mata-mata" untuk merekam video maupun suara.

Para pekerja yang muak dengan perlakuan semena-mena dari atasan, kini semakin berani untuk diam-diam merekam tindakan pelecehan dan penindasan oleh bos mereka.

Hal tersebut turut didorong mulai diberlakukannya undang-undang keternagakerjaan yang lebih keras terhadap perusahaan dan pemberi kerja.

Undang-undang baru, yang mulai berlaku pada 16 Juli, mengancam pemilik perusahaan yang secara tidak adil menurunkan jabatan atau memecat pekerja yang menuduh atasannya melakukan pelecehan, dengan hukuman penjara maksimal tiga tahun atau denda hingga 30 juta won (lebih dari Rp 350 juta).

Baca juga: Pasang Kamera Tersembunyi di Toilet Pesawat, Seorang Pria Malaysia Ditahan di AS

Dilansir Reuters, perilaku kasar yang ditunjukkan para orang berkuasa telah jamak terjadi di Korea Selatan, hingga ada kata khusus yang digunakan untuk menyebut hal itu, yakni "gabjil".

Salah satu kasus "gabjil" yang terkenal dan sempat menjadi pemberitaan internasional yakni kasus kemarahan wakil presiden maskapai Korean Air, Heather Cho, pada 2014, di mana dia sampai menyerang seorang kru penerbangan gara-gara caranya menyajikan kacang.

Alat perekam yang disamarkan menjadi berbagai benda sehari-hari seperti ikat pinggang, kacamata, pena, atau USB, menjadi perangkat yang banyak dicari para karyawan.

Baca juga: Pejabat Selandia Baru Terlibat Skandal Kamera Tersembunyi pada Toilet

Kepala Eksekutif Auto Jungbo, Jang Sung-chul, mengatakan perusahaannya memproduksi beragam alat perekam rahasia dan penjualan produk-produk tersebut telah menunjukkan peningkatan sejak pemerintah mulai melakukan perubahan dalam undang-undang perburuhan pada akhir tahun lalu.

Jang mengatakan, penjualan alat perekam suara milik Auto Jungbo sepanjang tahun ini telah meningkat dua kali lipat menjadi 80 unit per hari.

Dia bahkan memperkirakan hasil penjualan akan meningkat dua kali lipat selama tahun ini menjadi 1,4 miliar won atau sekitar Rp 16 miliar.

"Alat perekam rahasia itu telah terjual laris bak kacang goreng," kata Jang.

Baca juga: Polisi Korsel Tahan 2 Pria dalam Kasus Kamera Tersembunyi di Hotel

"Jujur, Anda bisa membuat (alat perekam) dalam bentuk apa pun," lanjut Jang, sambil menunjukkan sejumlah alat perekam dalam berbagai bentuk, kepada Reuters.

"Bingkai kacamata ini adalah kamera perekam. Ini berguna untuk tempat-tempat di mana Anda tidak bisa membawa benda apa pun. Juga yang berbentuk pena, yang menjadi paling populer," tambahnya.

Perusahaan Jang menjadi satu dari sekitar 20 perusahaan di Korea Selatan yang menjual perangkat perekam beraneka bentuk itu.

Kementerian Ketenagakerjaan Korea Selatan mengatakan kepada Reuters, hingga 29 Agustus lalu, telah ada 572 karyawan yang menggunakan undang-undang baru itu untuk mengajukan pengaduan terhadap tempat kerja mereka, yang berarti rata-rata ada 17 kasus setiap hari.

Baca juga: 1.600 Tamu Hotel di Korea Selatan Jadi Korban Skandal Kamera Tersembunyi

Budaya "gabjil" di Korea Selatan muncul dimungkinkan oleh tradisi menghormati status di seluruh lapisan masyarakat negara itu, mulai dari sekolah hingga keluarga konglomerat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Reuters
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com