HONG KONG, KOMPAS.com - Massa pengunjuk rasa kembali turun ke jalan dalam aksi demonstrasi pada akhir pekan ke-13 di Hong Kong, Sabtu (31/8/2019).
Massa berkumpul di luar gedung Dewan Legislatif, meski telah ada larangan unjuk rasa dari pihak berwenang.
Demonstrasi kali ini terjadi setelah dilakukannya penangkapan terhadap sejumlah tokoh aktivis pro-demokrasi oleh pihak kepolisian Hong Kong, pada Jumat (30/8/2019).
Penyelenggara aksi awalnya sempat membatalkan aksi pada akhir pekan ini, setelah polisi mengeluarkan larangan dengan alasan keamanan.
Baca juga: Media China: Pasukan di Hong Kong Tak Akan Tinggal Diam jika Situasinya Memburuk
Namun massa tetap turun ke jalan, berbaris dan berkumpul di luar gedung Dewan Legislatif sambil meneriakkan "rebut kembali Hong Kong, revolusi zaman kita".
Massa pengunjuk rasa sebagian mengenakan kaus hitam sebagai identitas mereka, serta membawa payung berwarna-warni.
Aksi demonstrasi kali ini juga berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan, yang mulai menembakkan meriam air dan gas air mata.
Sementara para pengunjuk rasa membalas dengan melemparkan bongkahan batu dan bom molotov yang memicu munculnya api.
Baca juga: Pasukan China Terlihat Bergerak Menuju Hong Kong di Tengah Rencana Demo
Massa demonstran sempat menghancurkan penghalang di luar gedung parlemen Hong Kong, namun kemudian dipukul mundur menggunakan meriam air dan gas air mata.
Meriam air itu menembakkan air berwarna biru, yang menurut media setempat bertujuan untuk memudahkan mengidentifikasi pelaku unjuk rasa.
Selain berkumpul di luar gedung parlemen, massa pengunjuk rasa juga dilaporkan sempat mendatangi kediaman resmi pemimpin Hong Kong Carrie Lam, yang menjadi salah satu sasaran kemarahan massa pro-demokrasi karena menolak tuntutan untuk mundur dan membatalkan RUU ekstradisi.
Aksi demontrasi pada Sabtu (31/8/2019), telah melanggar larangan pihak berwenang. Salah satu peserta unjuk rasa, Jay, menyebut warga Hong Kong memiliki hak untuk berkumpul.
"Saya siap dengan konsekuensi dari keluar ke jalan," ujarnya, dikutip AFP.
Baca juga: PM Inggris hingga Presiden Donald Trump Dukung Otonomi Hong Kong
Sabtu ini juga menandai peringatan lima tahun penolakan Beijing atas seruan untuk hak pilih universial Hong Kong yang memicu terjadinya gerakan unjuk rasa selama 79 hari pada 2014, yang disebut "Umbrella Movement" atau "Gerakan Payung".
Banyak di antara peserta pengunjuk rasa yang bertekad untuk tidak membiarkan gerakan massa kali ini berakhir dengan kegagalan seperti lima tahun lalu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.