Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Perdamaian di Kashmir yang Kini Hanya Sebatas Mimpi

Kompas.com - 12/08/2019, 18:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketika partisi subkontinen antara India dan Pakistan terjadi pada 1947, Maharaja Kashmir saat itu, Hari Singh, memilih untuk bergabung dengan India, dan bukan Pakistan yang sebenarnya diinginkan oleh kebanyakan penduduk Muslim di Kashmir.

Sejak saat itu, perang dan konflik meletus antara India dan Pakistan, sebab kedua negara tersebut mengklaim kedaulatan atas wilayah ini.

Untuk mengatasi permasalahan pemisahan wilayah antara India dan Pakistan, pemerintah India memberi jaminan perundangan ke Kashmir melalui hak otonomi untuk semua urusan kecuali pertahanan, komunikasi, dan hubungan luar negeri.

Partai Bharatiya Janata (BJP) Modi – dan Rashtriya Swayamsevak Sang (RSS) yang merupakan organisasi induk BJP – melihat jaminan otonomi tersebut sebagai penyimpangan. Sebuah keistimewaan yang tidak beralasan bagi penduduk Muslim di Kashmir dan sebuah halangan dalam misi mereka untuk membentuk Hindu Rashtra – negara Hindu.

Di sisi lain, pihak pembela mengklaim bahwa “keistimewaan” Kashmir merupakan bagian dari dasar negara India dan konstitusi sekularisme kredo Jawaharlal Nehru.

Adanya hak khusus ini, walau tidak populer, merupakan jaminan bagi umat Muslim di Kashmir – dan berlaku juga bagi kaum minoritas di seluruh dunia – bahwa bergabung ke India tidak akan berujung dengan meleburnya identitas mereka ke mayoritas Hindu.

Keberadaan Kashmir di India sejatinya merupakan bentuk teguran baik ke Pakistan dan pengikut ideologi RSS. Namun, semua itu kini telah menjadi mimpi.

Apa yang dilakukan pemerintahan Modi di Kashmir secara terang-terangan menyoroti tekadnya untuk memenuhi tujuan RSS.

Tujuan ini juga meliputi penghapusan wujud pluralis India yang diprakarsai kepemimpinan Nehru-Gandhi dan kesucian konstitusi sekular yang ditulis oleh seorang Dalit bernama Dr B. R. Ambedkar.

Tapi terkikisnya kebebasan India ini tidak dapat hanya disalahkan ke Modi, BJP dan RSS semata.

Penduduk India, yang kembali memilih Modi dengan kemenangan mayoritas yang besar di pemilihan umum terakhir, pada taraf tertentu juga turut ambil andil dalam menciptakan situasi ini.

Lagipula, pemerintahan India selama 40 tahun berturut-turut, dengan segala macam latar belakang ideologinya, telah “menurunkan” otonomi Kashmir secara bertahap. Dan di saat yang bersamaan tidak pernah sekalipun mengadakan referendum serta melarang isu ini untuk dibawa ke arbitrase internasional PBB.

Ditambah lagi, sentimen positif penduduk India di media sosial atas berita-berita dan perkembangan terbaru di Kashmir – banyak yang menyerukan “Solusi Terakhir” atas “masalah Kashmir” – menunjukkan bahwa kebijakan Modi ini menerima dukungan publik, atau bahkan dikatakan sebagai prestasi.

Tapi kegembiraan ini mungkin hanya sementara. Kemungkinan terjadinya konflik dengan Pakistan dan China (yang memiliki klaim atas Ladakh dan mengkritik aksi India) mungkin kecil.
Kehancuran yang sesungguhnya justru akan terjadi ke jiwa India.

Bila mereka dapat memperlakukan Kashmir sepert ini – dan menghiraukan suara rakyat – lalu apakah ada yang dapat menghentikan hal serupa terjadi atas penduduk minoritas India ataupun wilayah-wilayah yang tidak berbahasa Hindi, seperti Karnataka, Assam, dan Tamil Nadu?

Penindasan atas Kashmir lebih dari sebatas masalah agama, tapi juga mengenai hancurnya sebuah budaya nasional yang unik dan dipraktekkan oleh keyakinan yang berbeda-beda.

Bukan mengenai India yang mulai terhomogenisasi, tapi berakhirnya masa keberagaman.
Wujud India yang dikenal sebagai negara anti-koloni, sebuah suar sekularisme dan progresivitas di Asia, negara yang demokratis dan pluralis, kini telah terobek-robek.

Negara yang dijajah itu kini menjadi penjajah. Tapi, pada akhirnya, inilah yang diinginkan penduduk India dengan memilih Modi.

Mereka menginginkan sosok “orang kuat” dan kini – untuk hal yang lebih baik atau buruk – mereka pun harus melanjutkan hidup dengan kebijakan apapun yang dia kenakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com