Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Sejarawan, Arsitek dari Ingatan Kita Bersama

Kompas.com - 12/08/2019, 17:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Buku Thongchai Winichakul, Siam Mapped, adalah sebuah mahakarya. Ia membandingkan perbedaan pandangan Barat dan Thailand terkait kekuasaan, geografi, dan budaya ketika ia membahas tentang apa artinya menjadi seorang ‘Thai’ (orang Thailand) – terutama di wilayah perbatasan yang suram.

Sebagai seorang mahasiswa aktivis yang selamat dari pembantaian Universitas Thammasat pada 1976, Thongchai juga mewakili suara haluan sayap kiri – perspektif kunci yang telah dibenamkan, jika tidak dimusnahkan, dari banyak memori sejarah Asia Tenggara.

Beruntungnya, akademisi Singapura, Thum Ping Tjin (PJ Thum), tampaknya siap memperbaiki ketimpangan yang mencolok ini dengan inisiatif jurnalisme regionalnya, New Naratif.

Fakta bahwa penulis dan seniman buku komik, Sonny Liew, juga terlibat (ia menulis The Art of Charlie Chan Hock Chye - catatan panjang anti-PAP [Partai Tindakan Rakyat yang mendominasi politik Singapura]), berarti upaya ini harus diikuti dengan sangat cermat.

Menariknya, tulisan sejarah terhebat dari Indonesia dibuat dalam bentuk fiksi. Pembantaian anti-komunis telah membungkam generasi-generasi sejarawan, meninggalkan novelis Pramoedya Ananta Toer dengan “Buru Quartet” sebagai suara nurani negeri, dan juga pembela tegas dasar negara.

Karya paling tidak terkenal Thant Myint-U dari Myanmar, The Making of Modern Burma, pada saat yang sama adalah karya terpentingnya. Catatan yang saksama – dan menyakitkan – tentang upaya Burma yang akhirnya gagal untuk mempertahankan kemerdekaan terhadap ekspansi kolonial Inggris sangat penting bagi siapa saja yang ingin memahami xenophobia yang mengakar di negeri itu.

Di Malaya, Inggris bekerja bersama para kaum elite tradisional. Di Myanmar, golongan ini dimusnahkan hingga mendatangkan efek yang membawa petaka.

Memoar Profesor Wang Gung, Home is Not Here, sangat menyentuh dan mendalam. Karya tersebut adalah bacaan wajib terbaik tentang apa artinya menjadi orang Tionghoa dan Asia Tenggara yang awalnya dianggap “pendatang” pada 1930 dan 1940-an, kemudian menjadi penduduk, dan akhirnya warga negara.

Saya harus memasukkan Ho Chi Minh: A Life karya William J Duiker ke dalam daftar. Pemimpin Vietnam yang termasyhur tersebut – yang mengalahkan Perancis, Amerika, dan China – menjalani kehidupan yang menakjubkan.

Beliau bisa dikatakan sebagai Scarlet Pimpernel untuk abad ke-19, menjelajahi dunia sambil diikuti oleh mata-mata dan agen ganda. Seorang patriot dan nasionalis pada awalnya, Ho beralih ke komunisme sebagai jalan terakhir.

Terakhir, saya harus mengakhiri daftar ini dengan YouTuber Michael Rogge, yang kanalnya berisi film-film Hong Kong dan Jepang tahun 1950-an serta rekaman ayahnya dari masa Indonesia sebelum perang. Semua itu bagai jendela yang indah ke masa lalu.

Kehidupan digital telah membuat film dan video ada di mana-mana. Kanal Rogge (dan banyak lainnya) membawa masa lalu ke masa kini secara langsung.

Seperti yang saya katakan di awal, sejarawan adalah arsitek dan pelindung masa lalu kita.
Dengan munculnya teknologi baru, penceritaan visual akan menjadi komponen yang terus berkembang dari memori itu sendiri.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com