RIYADH, KOMPAS.com - Keretakan hubungan antara Arab Saudi dengan Turki terkait kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi diyakini bakal berimbas ke sektor ekonomi.
Pasalnya, saat ini berkembang seruan supaya orang-orang kaya yang ada di kerajaan kaya minyak itu untuk melakukan boikot dengan tak berlibur ke Turki.
Dilansir AFP Kamis (11/7/2019), dua negara penganut Islam Sunni itu mempunyai sejarah rivalitas geopolitik. Namun hubungan itu makin memburuk.
Baca juga: Trump Marah soal Kasus Pembunuhan Jamal Khashoggi, tetapi...
Penyebabnya adalah pembunuhan Khashoggi yang terjadi di Kantor Konsulat Saudi di Istanbul 2 Oktober 2018 lalu, di mana Putra Mahkota Mohammed bin Salman diduga ikut terlibat.
Setiap tahun, ratusan ribu kaum borjuis Saudi berlibur ke Turki karena iklmnya yang lebih lembut, airnya yang biru kehijauan, hingga ststus sebagai persimpangan Barat dan Timur.
Namun tensi karena pembunuhan Khashoggi membuat kalangan nasionalis hingga media pro-pemerintah menyerukan boikot ke Turki yang ekonominya tengah melambat.
"Jangan ke Turki" atau "Turki Tidak Aman" merupakan kalimat yang menjadi tajuk berita dengan sejumlah harian mulai mempublikasikan liputan itu beberapa bulan terakhir.
Banyak media, termasuk Al Arabiya, merilis peringatan dari Kedutaan Saudi di Ankara soal meningkatnya pencurian paspor maupun kejahatan lainnya.
Seruan itu nampaknya membuahkan hasil dengan Kementerian Pariwisata Turki melaporkan kunjungan wisatawan dari Turki anjlok 30 persen dalam lima bulan pertama 2019.
Beberapa agen perjalanan juga mengungkapkan perjalanan ke Turki mengalami penurunan cukup signifikan dengan otoritas pariwisata Saudi menolak berkomentar.
Berdasarkan laporan Pusat Penelitian dan Studi Islam King Faisal, dalam sehari turis Saudi menghabiskan 500 dollar AS, atau sekitar Rp 7 juta, dibandingkan pengunjung Eropa.