Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Darurat Masalah Sosial, Begini Kendali Pemerintah atas Sains

Kompas.com - 10/07/2019, 18:00 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Engkik Soepadmo adalah satu dari 419 anak muda yang terpilih sebagai mahasiswa Akademi Biologi, sekolah khusus mendidik ahli Biologi generasi pertama di Ciawi, Jawa Barat, pada 1955-1968.

Saat itu, pemerintah Indonesia memang getol mencurahkan aset dan modal terbaiknya untuk mengembangkan biologi sebagai garis depan upaya dekolonialisasi ilmu pengetahuan nasional.

Di masa Belanda, biologi merupakan primadona sains kolonial. Setelah Hindia Belanda jadi Indonesia, sains pun dirasa perlu untuk "diindonesiakan".

Baca juga: Telah Dimulai, Olimpiade Sains Nasional Diikuti Peserta Daerah 3T

Singkat cerita, dia lulus pada 1959 dan ditempatkan di Kebun Raya Bogor. Dia lalu mendapat beasiswa studi doktoral di Universitas Cambridge, Inggris.

Setelah lulus dan proyeknya rampung pada 1968, Soepadmo diminta pulang dan mengabdikan dirinya di Kebun Raya Bogor. Jawabannya? Dia memutuskan menolak.

Dalam buku Kegagalan Ilmuwan Hindia Belanda karya sejarawan Andrew Goss, Soepadmo menuliskan surat kepada botanis terkemuka Inggris dan Belanda, Kees van Steenis.

Dalam suratnya, dia menceritakan bagaimana rekan sejawatnya yang langsung pulang berpikir mereka bakal mendapat posisi lebih baik di Tanah Air.

"Namun secara tragis, setelah mereka tiba di Bogor, mereka hanya menjadi 'botanikus di belakang meja'," ucap pria yang memutuskan mengajar di Universiti Malaya.

Dia melihat ada yang tidak beres dengan dinamika riset Indonesia. Alih-alih meneliti, para ilmuwan justru lebih banyak mengerjakan tugas administratif.

Kesejahteraan juga menjadi isu yang sangat pelik. Di surat, Soepadmo menceritakan di Kebun Raya, gaji sekretaris nyatanya lebih tinggi daripada peneliti.

Itulah seklumit kisah Soepadmo dan peliknya melakukan penelitian berdasarkan opini sejarawan Rahadian Rundjan di harian Jerman, Deutsche Welle 2017 silam.

Kepada Kompas.com saat dikonfirmasi Rabu (10/7/2019), Rahadian menjabarkan tulisan yang dia buat dua tahun lalu itu masih relevan pada saat ini.

Dia menuturkan sebenarnya negara harus mempunyai kendali aras kehendak riset atas masyarakatnya. Namun, dia menggarisbawahi harus ada batas tertentu dan tak mengekang.

Baca juga: Rawat Tubuh Ho Chin Minh yang Diawetkan, Vietnam Panggil Ilmuwan Rusia

Kendali, kata Rahadian, dalam arti pemerintah punya hak untuk membuat aturan hukum dan kebijakan terkait yang seharusnya mengarahkan sains ke arah lebih demokratis.

"Dalam praktiknya, pemerintah harus mampu menyediakan logistik dasar untuk perkembangan sains itu sendiri. Misal dana riset dan akses informasi yang luas bagi peneliti maupun publik," paparnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com