Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

U Tin Win dan Perayaan Idul Fitri di Myanmar

Kompas.com - 18/06/2019, 14:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APAPUN nama perayaannya, Eid al-Fitr, Hari Raya Aidilfitri atau Idul Fitri (atau lebih sering dikenal sebagai “Lebaran”), akhir dari bulan puasa Ramadan adalah liburan besar bagi warga Indonesia dan Malaysia.

Tidak mengherankan, sebab 61 persen dan 87 persen populasi negara kita adalah umat Muslim.

Ibu kota kedua negara - Jakarta dan Kuala Lumpur - ditinggalkan jutaan orang yang berpulang ke kampung halaman masing-masing (“mudik”).

Sekitar 15 juta orang diperkirakan meninggalkan Jakarta di minggu Lebaran - mereka akan kembali seminggu setelahnya dengan jumlah yang lebih besar.

Belakangan ini, saya menghabiskan waktu di kedua ibu kota tersebut, dan saya dapat melihat jelas bagaimana Islam dipraktikkan dengan rasa hormat serta mendapat perhatian publik yang besar, terlepas dari apa yang dikatakan orang-orang.

Namun, tetap saja ada sebagian umat Muslim yang entah mengapa merasa kedua negara ini masih kurang Islami dan merasa keyakinan mereka terancam. Secara pribadi, saya melihat argumen ini cukup aneh.

Padahal jelas, apalagi ketika Ramadhan, bahwa kehidupan sehari-hari dan ritme negara kita ditentukan oleh arahan umat, yang merupakan penduduk mayoritas populasi kedua negara.

Sayangnya, rasa kekhawatiran ini secara sengaja dibuat oleh mereka yang seharusnya jauh lebih berilmu. Sedihnya lagi, rasa kekhawatiran dan permusuhan ini pun seringkali diarahkan ke sesama kita yang non-Muslim.

Bulan puasa - dan Idul Fitri - patut menjadi waktu bagi kita untuk introspeksi diri. Waktu untuk merefleksikan seberapa jauh kita, sebagai Umat, telah melangkah dan ke mana arah tujuan kita selanjutnya.

Saya mencoba membayangkan bagaimana jika kita hidup dan bekerja di lingkungan di mana Islam bukanlah sebuah mayoritas dan kita tidak perlu pergi jauh untuk mengalami rasa “keberbedaan” itu.

Di Myanmar, pemerintah setempat melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap kelompok etnis Rohingya pada akhir 2017, hanya oleh karena mereka beragama Islam.

Kemudian pada awal 2017, kota Marawi di Mindanao, Filipina digempur oleh pasukan militer Filipina melawan kelompok militan Islam, dan membuat pusat kota yang menaungi 215.000 penduduk ini hancur lebur.

Dengan mengingat kejadian-kejadian di atas dan untuk mengingatkan sesama Muslim - terutama mereka yang memilih untuk merayakan bulan suci ini dengan ketakutan dan saling menuduh satu sama lain - Tim Ceritalah menghabiskan waktu dengan umat Muslim di Myanmar dan Filipina.

Kami mencoba merasakan bagaimana mereka mampu menjalankan ibadah puasa sebagai minoritas. Dan juga untuk mengetahui apa makna Idul Fitri bagi mereka dan harapan mereka di masa depan, mengingat brutalitas dan pertumpahan darah yang beberapa waktu lalu menimpa sesama Muslim di kedua negara ini.

U Tin Win, seorang supir berusia 73 tahun yang ramah dan bersuara lembut, adalah sosok di Myanmar yang Tim Ceritalah temui kembali setelah dua tahun berselang.

Di puncak masa krisis Rohingnya yang menyebabkan sebanyak 741.000 orang mengungsi ke Bangladesh - hal ini telah dianggap sebagai “pembersihan etnis” - U Tin Win telah bersiap menghadapi hal teburuk yang mungkin terjadi.

Namun, ketika dijumpai kembali, Tim Ceritalah tidak menyangka bahwa sang supir tua ini sekarang merasa lebih yakin akan masa depannya.

Penangkapan terhadap seorang biksu Budha Birma yang seringkali menghasut ujaran anti-Islam, Wirathu, pada akhir Mei lalu, telah memberi rasa kelegaan - walaupun penangkapan Wirathu tidak terkait dengan ujaran kebencian.

“Belakangan ini tidak ada masalah baru yang muncul (di Yangon). Saya pikir Idul Fitri tahun ini akan baik-baik saja,” ujar U Tin Win.

Sementara di kota metropolis Manila, Saharah, seorang Muslim Maranao (suku dari Marawi) berusia 28 tahun juga merasa tenang. Dengan ramah dan riang, dia berpendapat bahwa Islam telah berpadu dengan budaya Filipina.

“Baik di tempat kerja maupun di tempat tinggal, saya merasa ada kerekatan hubungan keluarga di komunitas Islam di sini,” cerita Saharah.

Baik U Tin Win dan Saharah bercerita bahwa seringkali Idul Fitri di lingkungan mereka dirayakan bersama-sama.

Bahkan saat bulan Ramadan, Saharah berkata, “Berbuka puasa lebih menyenangkan di masjid-masjid setempat, sebab kami saling bercengkrama satu sama lain. Setiap kami membawa makanan untuk dibagikan.” Berbuka bersama atau makan bersama ini dikenal dengan nama “Salu-Salo”.

Begitu pula di Myanmar, U Tin Win bercerita di Kota Mingalar Taung Nyunt, Yangon bahkan saat Idul Adha (Hari Raya Kurban yang tahun ini dirayakan di bulan Agustus) baik Muslim dan non-Muslim merayakan bersama-sama.

Hal ini tetap dilakukan, meski ada berbagai laporan bahwa umat Muslim di Myanmar terpaksa merayakan Idul Fitri dan Idul Adha secara diam-diam sebab khawatir akan serangan dari kelompok Budha garis keras.

Meski demikian, U Tin Win berkata, “Kami tetap membagikan daging kurban ke sesama kami non-Muslim. Mereka pun berkunjung ke rumah saya dan menyantap semai (sejenis puding susu lokal).

Mendengarkan bagaimana umat Muslim di kedua negara ini tetap berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari dan bahkan merangkul sesamanya yang berbeda agama, walau ketegangan yang terjadi, sangatlah menggerakkan hati.

Ini bukan berarti kita dapat puas atau seenaknya sendiri dengan prinsip-prinsip keagamaan kita, ataupun menghiraukan penindasan yang dihadapi umat Muslim di negara-negara lain.

Namun kita jangan sampai kehilangan makna bahwa keyakinan dan iman seharusnya membawa kerukunan serta kemajuan terhadap kehidupan bermasyarakat. Agama adalah pembawa kesatuan, bukan pemecah belah.

Oleh karena itu, saat kita pulang kampung untuk merayakan Idul Fitri, atau berbelanja di mal, ataupun berpesta di rumah masing-masing, marilah sejenak mendoakan mereka yang kurang beruntung - dan bersyukur atas kedamaian yang kita kini rasakan.

Selamat Hari Raya Idul Fitri. Minal Aidin Walfaidzin. Mohon maaf lahir dan batin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com