Kemampuan administrasi mereka dalam menjalin hubungan dengan rakyat Malaysia tampaknya telah hilang. Kegagalan ini tidak biasa mengingat keterpaduan dan dinamika yang sempat ditunjukkan menjelang pemilihan 2018.
Alih-alih membangun narasi yang solid seputar pencapaian yang sesungguhnya—pembangunan kembali lembaga-lembaga inti dan perbaikan dalam bidang proses pemerintahan—mereka justru tenggelam oleh inisiatif kebijakan yang dieksekusi secara buruk serta melalui pertikaian internal.
Ratifikasi ICERD dan Statute Roma yang ceroboh telah memicu sentimen-sentimen buruk masyarakat asli Malaysia. Tentu sifat takut para menteri Malaysia telah menjadi kekecewaan besar.
Terlebih lagi, bagi sebagian besar populasi mayoritas Melayu-Muslim, kekalahan partai yang dulu sangat berkuasa, United Malays National Organisation (UMNO), adalah suatu tamparan keras. Ketakutan akan disisihkan oleh orang China-Malaysia yang lebih berada dan berpendidikan tinggi telah marak ditunjukkan.
Seperti mantan perdana menteri, Najib Razak, yang harus berusaha menghidupkan kembali reputasinya melalui kampanye media sosial "Malu Apa Bossku" ("what’s the shame, my boss?”) yang memasukkan unsur-unsur perkotaan, mengendarai sepeda motor, serta budaya orang-orang muda kelas pekerja.
Namun, masyarakat Malaysia yang kami ajak bicara pun bersedia memberi kesempatan pada PH. Meskipun akan banyak tantangan ke depan, mereka dapat dikatakan siap menghadapi perubahan besar-besaran.
China, yang dulu paling dipilih investor untuk bidang manufaktur luar negeri, kini tak lagi menarik bagi mereka.
Pilih salah satu: tarif AS yang diilhami dari perang dagang, sikap ofensif Beijing terhadap bisnis asing, naiknya biaya input dan kurangnya perkembangan dalam menegakkan keamanan rantai pasokan seperti pencurian IP, dan pengendalian mutu.
Perusahaan-perusahaan multinasional berusaha mengurangi riwayat risiko mereka, yang lantas membuat mereka mencari banyak negara untuk berinvestasi.
Malaysia seharusnya memanfaatkan hal ini. Malaysia memiliki logistik yang hebat (berkat pemerintah BN sebelumnya) dan lokasi strategis yang tidak ada duanya.
Malaysia adalah bagian dari rantai pasokan global, rute perdagangan dan pariwisata. Malaysia juga berada di peringkat ke-51 pada the World Justice Project’s Rule of Law Index 2019, hanya setelah Singapura di ASEAN.
Seperti yang dikatakan Hasnul Nadzrin Shah, Direktur Pemerintahan dan Regulasi di IBM, "Rakyat Malaysia, ketika dihadapkan pada pandangan dunia yang lebih luas, berkembang karena latar belakang multikulturalnya."
Dan seperti yang ditunjukkan oleh perjalanan Tim Ceritalah, rakyat Malaysia biasa memiliki etos kerja yang kuat dan keinginan besar untuk memperbaiki diri. Yang diperlukan adalah mengembangkan sumber daya manusia dengan benar.
Pekerja Malaysia tidak sepatutnya diperlakukan seperti input ekonomi. Orang-orang Malaysia adalah satu-satunya aset terbesar mereka sendiri—dan dalam jangka panjang.
Para pekerja di Malaysia sudah sepatutnya mendapatkan upah yang layak — namun produktivitas dan nilai tambah mereka juga harus meningkat. Dalam hal lain, banyak yang khawatir tentang sistem pendidikan negeri ini.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.