Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Hiroo Onoda yang Terus Bertempur 29 Tahun Usai Perang Dunia II

Kompas.com - 14/06/2019, 11:57 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

KOMPAS.com - Banyak peristiwa heroik dan tak masuk akal selama Perang Dunia II, salah satunya adalah kisah Hiroo Onoda, seorang perwira AD Jepang berpangkat Letnan Dua.

Meski hanya seorang perwira menengah, Onoda menjadi legenda di Jepang setelah bertahan di hutan Filipina selama 29 tahun usai Perang Dunia II dan terus bertempur.

Dia terus bertempur karena tidak mengetahui bahwa Perang Dunia II sudah berakhir dan Jepang telah menyerah.

Onoda lahir pada 19 Maret 1922 di desa Kamegawa, distrik Kaiso, prefektur Wakayama, Jepang.

Baca juga: Veteran Perang Dunia II Ini Bertemu Wanita yang Dicintainya 75 Tahun Kemudian

Pada usia 17 tahun, Onoda merantau untuk bekerja di perusahaan dagang Tajima Yoko di Wuhan, China.

Setahun kemudian dia pulang ke Jepang dan mendaftarkan diri di pasukan infantri AD Kekaisaran Jepang.

Di angkatan darat, Onoda kemudian dilatih menjadi perwira intelijen di akademi Nakado.

Setelah menyelesaikan pelatihan, pada 24 Desember 1944, dia dikirim ke Pulau Lubang di Filipina.

Di sana dia diperintahkan untuk mencegah serangan musuh, dalam hal ini Amerika Serikat, ke pulau itu.

Beberapa tugas penting yang dibebankan kepadanya antara lain menghancurkan landasan udara dan dermaga di pelabuhan pulau tersebut.

Selain itu, Onoda juga mengantungi perintah tidak boleh menyerah atau bunuh diri dalam menjalankan misi ini.

Setibanya di Lubang, Onoda bergabung dengan sekelompok tentara Jepang yang sudah berada di sana terlebih dulu.

Sayangnya, ada beberapa perwira berpangkat lebih tinggi sehingga membuat Onoda tak bisa melakukan tugasnya.

Alhasil, tanpa dermaga pelabuhan dan landasan udara yang dihancurkan, pasukan AS dan Filipina dengan mudah mendarat di Pulau Lubang pada 28 Februari 1945.

Pertempuran segera terjadi dan hampir seluruh tentara Jepang di Lubang tewas atau menyerah, kecuali Onoda dan tiga prajurit.

Karena berpangkat paling tinggi, maka Onoda memerintahkan ketiga prajurit itu pergi ke hutan di perbukitan untuk bergerilya.

Onoda bersama prajurit Yuichi Akatsu, Kopral Soichi Shimada, dan Prajurit Satu Kinshici Kozuka, melanjutkan perlawanan terhadap Sekutu dan polisi Filipina.

Pada Oktober 1945, untuk kali pertama Onoda melihat selebaran yang berisi soal berakhirnya perang.

"Perang berakhir 15 Agustus. Keluarlah dari gunung!" begitu isi selebaran tersebut.

Namun, Onoda tak mempercayai selebaran itu. Dia menganggap selebaran itu hanyalah propaganda Sekutu dan tak percaya perang telah berakhir.

Baca juga: Gadget Langka Milik Nazi di Era Perang Dunia II Dilelang Rp 2,8 MIliar

Pada akhir 1945, selebaran yang disebar dari udara dilengkapi perintah untuk menyerah yang diteken Jenderal Tomoyuki Imamura, komandan Tentara ke-14 Jepang.

Selebaran ini juga diperoleh Onoda dan sekali lagi dia memutuskan bahwa isi selebaran itu adalah kabar bohong yang disebarkan Sekutu.

Pada September 1949, Prajurit Yuichi Akatsu meninggalkan kamp Onoda dan menyerahkan diri kepada tentara Filipina pada 1950 setelah enam bulan sendirian di hutan.

Menyerahnya Yuichi, menjadi masalah bagi Onoda dan kedua rekannya yang tersisa dan membuat mereka menjadi lebih waspada.

Pada 1952 surat dan foto-foto keluarga dijatuhkan dari udara untuk memaksa Onoda dan dua prajuritnya untuk menyerah.

Namun, ketiganya tetap menganggap semua itu sekadar tipuan dan memilih tetap bertahan di hutan.

Baca juga: 5 Kendaraan Lapis Baja Andalan Nazi Jerman pada Perang Dunia II

Pada 1953, Kopral Soichi Shimada tertembak di kaki dalam baku tembak dengan nelayan lokal tetapi Onoda bisa merawatnya hingga pulih kembali.

Pada 7 Mei 1954, Kopral Shimada tewas ditembak pasukan lokal yang dibentuk untuk mencari ketiga tentara Jepang itu.

Onoda akhirnya menjadi satu-satunya tentara Jepang yang tersisa setelah, Prajurit Satu Kinshici Kozukabtewas ditembak polisi Filipina pada 19 Oktobe 1972.

Saat itu, Kozuka dan Onoda tengah melakukan aksi gerilya dengan membakar sawah milik para petani setempat.

Setelah hidup sendirian, Onoda tak menghentikan aksinya. Dia terus menyerang para petani dan polisi Filipina selama beberapa dekade setelahnya.

Selama bertahan di hutan, Onoda hidup dari buah-buahan dan tanaman hutan dengan sesekali mencuri ternak warga.

Dia membangun gubuk bambu di hutan dan tetap menyimpan seragam serta senjatanya agar siap saat seorang perwira tinggi datang dan melakukan inspeksi.

Pada 1959, pemerintah Jepang sudah menganggap Onoda tewas. Namun, ketika Prajurit Kozuka tewas pada 1972, pemerintah Jepang harus mengubah anggapan itu.

Baca juga: FBI Pernah Selidiki Informasi Hitler Selamat dari Perang Dunia II

Media Jepang saat itu memunculkan isu terkait kemungkinan masih hidupnya Onoda. Alhasil, Onoda menjadi mitos di tengah masyarakat Jepang.

Pada 1974, seorang pemuda bernama Norio Suzuki mengumumkan dia akan bertualang untuk mencari Letnan Onoda, panda, dan manusia salju.

Singkat cerita Suzuki berhasil menemukan Onoda di hutan Pulau Lubang dan bisa membuat Onoda mulai yakin jika perang memang sudah usai.

Onoda saat itu setuju untuk tidak membunuh Suzuki tetapi bersikukuh dia tak dapat meninggalkan misinya hingga mendapat perintah resmi dari komandannya.

Suzuki akhirnya kembali ke Jepang untuk menemukan sang komandan. Beruntung, Suzuki bisa menemukan sang komandan Mayor Tanaguchi yang sudah bekerja di sebuah toko buku.

Kemudian bersama Suzuki dan saudara laki-laki Onoda, Mayor Taniguchi pergi ke Lubang untuk meminta Onoda keluar dari persembunyiannya.

Awalnya, Onoda menganggap ini adalah tipuan lain dan menunggu Taniguchi memberikan pesan rahasia yang memberi tahu bahwa perang masih berlangsung.

Saat tak ada pesan rahasia yang datang, barulah Onoda yakin bahwa perintah menyerah itu resmi dan perang sudah berakhir.

Saat itu perang sudah berakhir 29 tahun lalu. Dan ketika mengetahuinya, Onoda jatuh terduduk.

Meski menyerah, nasib Onoda saat itu belum jelas. Sebab, dia sudah meneror Lubang selama hampir 30 tahun dan menewaskan setidaknya tujuh warga Filipina.

Baca juga: Gloster Meteor, Jet Pertama Inggris yang Jadi Andalan Sekutu dalam Perang Dunia II

Namun, Ferdinand Marcos, presiden Filipina saat itu, mengagumi kesetiaan dan loyalitas Onoda, sehingga memberinya pengampunan.

Setelah diampuni, Onoda mengenakan seragam militer yang disimpannya di hutan untuk bertemu Presiden Marcos dan memberikan pedangnya.

Presiden Marcos yang mengagumi Onoda menerima pedang itu dan langsung mengembalikannya kepada sang empunya.

Onoda kemudian diterbangkan pulang dengan pesawat pribadi dan disambut bak pahlawan setibanya di bandara.

Di antara ribuan orang yang menyambut terdapat orangtua Onoda dan putri dari Kopral Shimada, satu dari tiga anak buah Onoda di Filipina.

Onoda dengan segera menjadi buah bibir. Kisahnya selama di Filipina menghiasi berbagai media massa di Jepang.

Dia bahkan menerbitkan autobiografi berjudul "No Surrender: My Thirty-Year War", yang menceritakan detil kisahnya di Filipina.

Pemerintah Jepang bahkan menawarkan gaji yang selama ini seharusnya diterima Onoda, tetapi dia menolak menerima.

Para donatur juga mengumpulkan uang untuk Onoda. Namun, sang perwira menyumbangkan uang tersebut ke kuil Yasukuni.

Baca juga: 8 Pesawat yang Dianggap Buruk Saat Perang Dunia II

Namun, semua perhatian itu membuat Onoda gerah dan menganggap nilai-nilai tradisional Jepang mulai hilang.

Pada April 1975 dia mengikuti jejak kakaknya Tadao dan pergi ke Brasil untuk beternak.

Onoda menikah pada 1976 dan dikabarkan menjadi pemimpin komunitas warga Jepang di kota Terenos, Mato Grosso do Sul, Brasil.

Suatu hari, Onoda membaca kisah remaja Jepang yang membunuh orangtuanya. Hal itu, mendorong Onoda kembali ke Jepang pada 1984 dan mendirikan Onoda Shizen Juku (Sekolah Alam Onoda) untuk mendidik anak-anak muda Jepang.

Pada 1996, Onoda berkunjung ke Pulau Lubang dan mendonasikan 10.000 dolar AS untuk sekolah lokal di pulau itu.

Sementara sang istri, Machie Onoda, menjadi ketua Asosiasi Perempuan Konservatif Jepang pada 2006.

Setelah kembali ke Jepang, Onoda tetap menghabiskan waktu tiga bulan dalam setahun di Brasil. Alhasil dia dianugerahi Medali Santos-Dumont dari AU Brasil pada 6 Desember 2004.

Baca juga: Arloji Bekas Militer Perang Dunia II Terjual Hampir Rp 1 Miliar

Selain itu, pada 21 Februari 2014, parlemen Mato Grosso do Sul menganugerahkan status warga negara bagian itu.

Onoda meninggal dunia pada 16 Januari 2014 akibat serangan jantung. Dia meninggal dunia setelah sempat dirawat di RS St Luke International, Tokyo.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com