Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Hiroo Onoda yang Terus Bertempur 29 Tahun Usai Perang Dunia II

Kompas.com - 14/06/2019, 11:57 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

Saat itu perang sudah berakhir 29 tahun lalu. Dan ketika mengetahuinya, Onoda jatuh terduduk.

Meski menyerah, nasib Onoda saat itu belum jelas. Sebab, dia sudah meneror Lubang selama hampir 30 tahun dan menewaskan setidaknya tujuh warga Filipina.

Baca juga: Gloster Meteor, Jet Pertama Inggris yang Jadi Andalan Sekutu dalam Perang Dunia II

Namun, Ferdinand Marcos, presiden Filipina saat itu, mengagumi kesetiaan dan loyalitas Onoda, sehingga memberinya pengampunan.

Setelah diampuni, Onoda mengenakan seragam militer yang disimpannya di hutan untuk bertemu Presiden Marcos dan memberikan pedangnya.

Presiden Marcos yang mengagumi Onoda menerima pedang itu dan langsung mengembalikannya kepada sang empunya.

Onoda kemudian diterbangkan pulang dengan pesawat pribadi dan disambut bak pahlawan setibanya di bandara.

Di antara ribuan orang yang menyambut terdapat orangtua Onoda dan putri dari Kopral Shimada, satu dari tiga anak buah Onoda di Filipina.

Onoda dengan segera menjadi buah bibir. Kisahnya selama di Filipina menghiasi berbagai media massa di Jepang.

Dia bahkan menerbitkan autobiografi berjudul "No Surrender: My Thirty-Year War", yang menceritakan detil kisahnya di Filipina.

Pemerintah Jepang bahkan menawarkan gaji yang selama ini seharusnya diterima Onoda, tetapi dia menolak menerima.

Para donatur juga mengumpulkan uang untuk Onoda. Namun, sang perwira menyumbangkan uang tersebut ke kuil Yasukuni.

Baca juga: 8 Pesawat yang Dianggap Buruk Saat Perang Dunia II

Namun, semua perhatian itu membuat Onoda gerah dan menganggap nilai-nilai tradisional Jepang mulai hilang.

Pada April 1975 dia mengikuti jejak kakaknya Tadao dan pergi ke Brasil untuk beternak.

Onoda menikah pada 1976 dan dikabarkan menjadi pemimpin komunitas warga Jepang di kota Terenos, Mato Grosso do Sul, Brasil.

Suatu hari, Onoda membaca kisah remaja Jepang yang membunuh orangtuanya. Hal itu, mendorong Onoda kembali ke Jepang pada 1984 dan mendirikan Onoda Shizen Juku (Sekolah Alam Onoda) untuk mendidik anak-anak muda Jepang.

Pada 1996, Onoda berkunjung ke Pulau Lubang dan mendonasikan 10.000 dolar AS untuk sekolah lokal di pulau itu.

Sementara sang istri, Machie Onoda, menjadi ketua Asosiasi Perempuan Konservatif Jepang pada 2006.

Setelah kembali ke Jepang, Onoda tetap menghabiskan waktu tiga bulan dalam setahun di Brasil. Alhasil dia dianugerahi Medali Santos-Dumont dari AU Brasil pada 6 Desember 2004.

Baca juga: Arloji Bekas Militer Perang Dunia II Terjual Hampir Rp 1 Miliar

Selain itu, pada 21 Februari 2014, parlemen Mato Grosso do Sul menganugerahkan status warga negara bagian itu.

Onoda meninggal dunia pada 16 Januari 2014 akibat serangan jantung. Dia meninggal dunia setelah sempat dirawat di RS St Luke International, Tokyo.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com