Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selamat dari Antrean Panjang di Everest, Pendaki Minta Aturan Lebih Ketat

Kompas.com - 28/05/2019, 16:46 WIB
Veronika Yasinta

Penulis

Sumber AFP

KATHMANDU, KOMPAS.com - Ganasnya Gunung Everest telah memakan korban jiwa hingga 11 orang hingga Senin (27/5/2019), pada musim pendakian tahun ini.

Padatnya antrean menuju puncak Everest diyakini menyebabkan para pendaki gugur sebelum atau setelah mencapai titik tertinggi di dunia.

Salah satu pendaki yang selamat dari "kemacetan" Everest, Ameesha Chauhan, kini berada di rumah sakit untuk pemulihan dari penyakit radang dingin.

Baca juga: Setelah Capai Puncak, Pria AS Jadi Korban Tewas ke-11 di Gunung Everest

Dia mengatakan, pendaki tanpa keterampilan dasar seharusnya dilarang untuk naik gunung tertinggi dunia untuk mencegah terulangnya musim mematikan tahun ini.

Kurang dari dua pekan, korban keganasan Gunung Everest berjatuhan. Cuaca buruk memangkat waktu pendakian sehingga banyak orang harus antre panjang menuju puncak, meski berisiko kelelahan dan kehabisan oksigen.

Antrean padat pendaki gunung di sebuah area yang dikenal sebagai zona kematian menuju puncak Gunung Everest. (AFP/PROJECT POSSIBLE) Antrean padat pendaki gunung di sebuah area yang dikenal sebagai zona kematian menuju puncak Gunung Everest. (AFP/PROJECT POSSIBLE)
Ameesha mengaku harus meninggu 20 menit untuk turun dari puncak setinggi 8.848 meter, sementara yang lain bisa tertahan hingga berjam-jam.

Dia menilai, beberapa ratus orang yang berstatus tidak terlatih dengan baik ikut dalam perjalanan panjang menuju puncak Everest.

"Saya melihat beberapa pendaki tanpa keterampilan dasar sepenuhnya mengandalkan panduan Sherpa mereka," katanya, merujuk pada pemandu.

"Pemerintah harus memperbaiki kriteria kualifikasi," ucapnya, kepada AFP.

Semua jari kaki di kaki kirinya terlihat hitam dan biru, serta wajahnya kebas akibat terpapar cuaca dingin.

"Hanya pendaki terlatih yang diberikan izin untuk mendaki Everest," kata perempuan berusia 29 tahun asal India itu.

Setidaknya empat kematian di gunung tertinggi di dunia itu diyakini akibat kepadatan berlebihan di "zona kematian", sementara udaranya sangat tipis dan medannya berbahaya.

"Oksigen banyak pendaki habis," kata Ameesha.

"Beberapa pendaki meninggal karena kelalaian mereka sendiri. Mereka bersikeras mencapai puncak bahkan jika oksigen mereka habis dan mempertaruhkan hidup mereka," katanya.

Korban Everest tahun ini merupakan yang tertinggi sejak 2014-2015 ketika gempa bumi besar memicu longsoran salju dahsyat.

Pria asal AS menjadi korban terakhir yang tercatat hingga Senin (27/5/2019). Seorang pengacara berusia 62 tahun, John Kulish, menghembuskan napas terakhirnya setelah mencapai puncak Everest di bagian Nepal pada pagi hari.

Baca juga: Sebelum Meninggal, Pendaki Sebut Kepadatan di Puncak Everest Berdampak Fatal

Ketika menuruni puncak, Kulish masih kuat dan mencapai South Col dengan aman. South Col merupakan titik yang berada di ketinggian 7.900 meter.

Namun setelah itu, dia meninggal secara mendadak.

Pada hari yang sama, sebuah keluarga di Austria mengonfirmasi kematiann salah satu kerabat mereka. Ernst Landgraf yang berusia 64 tahun meninggal pada Kamis lalu. Dia tak lagi bernapas setelah menggapai mimpinya naik ke puncak Everest.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber AFP
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com