Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemilu di India: Jika Bukan Modi, Siapa?

Kompas.com - 03/05/2019, 21:30 WIB
Karim Raslan,
Amir Sodikin

Tim Redaksi

 

VEENA Kumari, ibu rumah tangga berusia 52 tahun, adalah tipikal Narendra Modi. Dia tinggal bersama suaminya yang bekerja sebagai petani, di sebuah desa dekat Pratapgarh, sebuah kota berdebu dengan nuansa layaknya “kota yang belum siap”, terletak hanya 170 kilometer dari Lucknow, ibukota Uttar Pradesh (UP).

“Pengangguran adalah isu utama di negara ini. Namun keadaan telah membaik. Jika kita memberikan Modi 5 tahun lagi, tidak akan ada lagi pengangguran,” kata Veena.

Anak laki-lakinya yang berusia 20 tahun-an akan lulus perguruan tinggi dalam dua tahun. Veena yakin jika Narendra Modi terpilih kembali, anak laki-lakinya akan mendapatkan pekerjaan selepas lulus nanti.

“Modi akan menyelesaikan permasalahan kita. Jika bukan Modi, siapa?” Veena menambahkan.
Jika bukan Modi, lalu siapa?

Baca juga: Pemilu di India: Apa Untungnya Bagi Saya?”

Pertanyaan tersebut sering diteriakkan berkali-kali hingga menjadi sebuah slogan untuk mencerca oposisi. Bagi pendukungnya, sosok “orang kuat” ini tidak dapat digantikan.

Namun, sifat kampanye yang kuasi-presidensial memperkuat pentingnya pertanyaan tersebut: siapa yang mampu melawan pemimpin karismatik dengan pengikutnya yang banyak, seperti Modi?

Sang pemimpin hebat ini masih berpotensi tersandung karena performa ekonominya yang kurang berhasil, sikap acuh tak acuhnya terhadap kelompok minoritas, dan kurangnya perhatian mengatasi kemiskinan yang melanda pedesaan India.

Di sisi lain, partainya, Bharatiya Janata Party (BJP) tampak lebih tenang dalam menghadapi Pemilu mendatang.

Apakah seorang pengganti, mungkin pemimpin yang kurang memecah-belah dan lebih “merakyat”, dapat muncul dari kubunya sendiri?

Patut diingat bahwa dia bukan satu-satunya yang menunggangi kemenangan BJP pada 2014. Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), organisasi masyarakat Hindu yang berbasis di Nagpur, bisa dikatakan sebagai pemenang utama.

Baca juga: Klaim Temukan Jejak Yeti, AD India Malah Diledek dan Tak Dipercaya

Mengapa? RSS dengan ideologi Hindutva (Nasionalis Hindu), dinilai sebagai organisasi induk dari BJP pimpinan Modi. Setelah mendapatkan kekuasaan di tingkat nasional, kekalahan bukanlah sebuah opsi.

Menariknya, perbincangan mengenai sosok alternatif Modi memang telah mulai muncul di publik India. Disokong dengan liputan media yang berlimpah, Nitin Gadkari – sosok Menteri yang dikenal dalam pembangunan jalan tol antar kawasan – muncul sebagai “matahari” kedua di galaksi BJP.

Tidak seperti Modi, Gadkari yang berusia 62 tahun – yang lahir, dibesarkan, dan mengurat akar di Nagpur – merupakan seorang kader partai setia yang cukup menonjol. Tetapi meskipun Gadkari berada dalam radar kasta Maharashtian kelas atas, minoritas kelas pekerja berpikir sebaliknya.

Di Jula, sebuah desa di UP di mana beberapa kerusuhan berdarah terjadi, seorang Nadeema Ali mengatakan bahwa Mayawati adalah pilihan terbaik untuk Perdana Menteri. Sebagai seorang buruh tani dan seorang Muslim, kekhawatiran utama Nadeema berada di kekerasan terhadap minoritas dan biaya hidup.

“Saya belum pernah mendengar rencana apapun dari Kongres (Kongres Nasional India/INC) atau partai lain. Partai Samajwadi (SP) adalah partai satu-satunya yang telah berkampanye di sini – dan Mayawati akan menjadi calon terbaik untuk memimpin karena dia juga mewakili minoritas,” tutur Nadeema.

Mayawati adalah ketua Bahujan Samaj Party (BSP, sekutu SP) –partai yang mewakili kasta Dalit. Anak perempuan dari seorang petugas kantor pos yang rendah hati ini telah menjabat sebagai Menteri Kepala negara bagian UP selama tiga periode.

Pemilih seperti Nadeema merasa bahwa Mayawati lebih cocok menjadi Perdana Menteri dari pada sosok pimpinan INC dan pewaris politik dinasti Nehru-Gandhi, Rahul Gandhi.

Kubu oposisi Modi terlihat mengalami kesulitan dalam menghadirkan koalisi yang menyatu. Sosok pemimpin dari Bengal Barat juga mengincar kursi Perdana Menteri.

Mamata Banerjee adalah sosok Menteri Kepala tangguh yang menjadi pimpinan sebuah partai lokal serta aliansi oposisi bernama “Mahagathbandan”.

Akrab dipanggil sebagai Mamata-didi (“kakak perempuan”), perempuan berusia 64 tahun ini juga populer di negara bagian sekitar perbatasan seperti Odisha.

Ajakannya untuk membentuk aliansi oposisi yang terbentuk dari partai-partai daerah menghasilkan “Kampanye Akbar” pada pertengahan Januari.

Kampanye Akbar ini dihadiri setengah juta orang (termasuk 20 pimpinan partai politik) dan membuat ibukota Bengal Barat, Kolkata, macet total.

Narendra Modi, perdana menteri sekaligus pemimpin Bharatiya Janata (BJP) partai berkuasa di India saat ini.AFP/STR Narendra Modi, perdana menteri sekaligus pemimpin Bharatiya Janata (BJP) partai berkuasa di India saat ini.
Di daerah Puri, Odisha, kami berbincang dengan Manas Jana, seorang petugas keamanan hotel yang berasal dari keluarga petani.

Petugas keamanan berusia 32 tahun yang komunikatif ini mengatakan, “Saya lebih suka Mamata Didi menjadi Perdana Menteri. Dia bangga dapat mewakili orang-orang yang memilihnya dan dia memastikan partainya langsung bekerja di lapangan.”

Di sisi lain, tampaknya Rahul Gandhi sejauh ini gagal memenangkan hati sebagian besar pemilih India. Padahal Nyunatam Aay Yojana (NYAY) – sebuah skema untuk menjamin pendapatan minimum warga – yang dia inisiasi, cukup menarik perhatian publik.

Keputusan Rahul bahwa dia akan mencalonkan diri di daerah pemilihan Wayanad di Kerala (untuk menambah kekuasaan di luar wilayah keluarganya di Amethi, UP) tampaknya tidak menarik perhatian pemilih di Selatan India.

Unni, seorang mahasiswa Adivasi (suku pribumi di Selatan India) berusia 20 tahun, menolak kebijakan Rahul yang berorientasi kesejahteraan.

“Itu tidak akan berhasil di lapangan. Di Wayanad, Kongres direpresentasi oleh para pemilik perkebunan kaya yang tidak akan melakukan apa pun untuk membantu petani kecil karena itu akan merugikan kepentingan ekonomi mereka,” Adivasi memaparkan alasannya.

Ditambah lagi, Rahul kerap dilihat sebagai “bahan tertawaan” yang kian mengurangi kredibilitasnya, terutama bila disandingkan dengan Modi yang gagah perkasa.

Hal ini juga menjadi alasan yang cukup signifikan mengapa Rahul dengan gaya kepemimpinannya tidak dapat menjalin hubungan yang lebih kuat dengan politisi anti-Modi lainnya.

Sosok dua pimpinan daerah seperti Mayawati dan Mamata seharusnya menjadi sekutu alaminya. Namun kenyataannya, mereka bertekad untuk menggantikan Rahul.

Dengan keberadaan pemimpin yang lebih kuat, kepentingan-kepentingan yang saling tumpang tindih ini akan dapat disatukan sebelum Pemilu.

Namun yang terjadi, perbedaan kepentingan tersebut disatukan dengan kesepakatan-kesepakatan di balik layar.

Jadi, hingga dan hanya dengan kubu oposisi bersatu maka sayangnya tidak akan ada jawaban tepat untuk pertanyaan, “Jika bukan Modi, lalu siapa?”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com