Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemilu di India: Jika Bukan Modi, Siapa?

Kompas.com - 03/05/2019, 21:30 WIB
Karim Raslan,
Amir Sodikin

Tim Redaksi

Mayawati adalah ketua Bahujan Samaj Party (BSP, sekutu SP) –partai yang mewakili kasta Dalit. Anak perempuan dari seorang petugas kantor pos yang rendah hati ini telah menjabat sebagai Menteri Kepala negara bagian UP selama tiga periode.

Pemilih seperti Nadeema merasa bahwa Mayawati lebih cocok menjadi Perdana Menteri dari pada sosok pimpinan INC dan pewaris politik dinasti Nehru-Gandhi, Rahul Gandhi.

Kubu oposisi Modi terlihat mengalami kesulitan dalam menghadirkan koalisi yang menyatu. Sosok pemimpin dari Bengal Barat juga mengincar kursi Perdana Menteri.

Mamata Banerjee adalah sosok Menteri Kepala tangguh yang menjadi pimpinan sebuah partai lokal serta aliansi oposisi bernama “Mahagathbandan”.

Akrab dipanggil sebagai Mamata-didi (“kakak perempuan”), perempuan berusia 64 tahun ini juga populer di negara bagian sekitar perbatasan seperti Odisha.

Ajakannya untuk membentuk aliansi oposisi yang terbentuk dari partai-partai daerah menghasilkan “Kampanye Akbar” pada pertengahan Januari.

Kampanye Akbar ini dihadiri setengah juta orang (termasuk 20 pimpinan partai politik) dan membuat ibukota Bengal Barat, Kolkata, macet total.

Di daerah Puri, Odisha, kami berbincang dengan Manas Jana, seorang petugas keamanan hotel yang berasal dari keluarga petani.

Petugas keamanan berusia 32 tahun yang komunikatif ini mengatakan, “Saya lebih suka Mamata Didi menjadi Perdana Menteri. Dia bangga dapat mewakili orang-orang yang memilihnya dan dia memastikan partainya langsung bekerja di lapangan.”

Di sisi lain, tampaknya Rahul Gandhi sejauh ini gagal memenangkan hati sebagian besar pemilih India. Padahal Nyunatam Aay Yojana (NYAY) – sebuah skema untuk menjamin pendapatan minimum warga – yang dia inisiasi, cukup menarik perhatian publik.

Keputusan Rahul bahwa dia akan mencalonkan diri di daerah pemilihan Wayanad di Kerala (untuk menambah kekuasaan di luar wilayah keluarganya di Amethi, UP) tampaknya tidak menarik perhatian pemilih di Selatan India.

Unni, seorang mahasiswa Adivasi (suku pribumi di Selatan India) berusia 20 tahun, menolak kebijakan Rahul yang berorientasi kesejahteraan.

“Itu tidak akan berhasil di lapangan. Di Wayanad, Kongres direpresentasi oleh para pemilik perkebunan kaya yang tidak akan melakukan apa pun untuk membantu petani kecil karena itu akan merugikan kepentingan ekonomi mereka,” Adivasi memaparkan alasannya.

Ditambah lagi, Rahul kerap dilihat sebagai “bahan tertawaan” yang kian mengurangi kredibilitasnya, terutama bila disandingkan dengan Modi yang gagah perkasa.

Hal ini juga menjadi alasan yang cukup signifikan mengapa Rahul dengan gaya kepemimpinannya tidak dapat menjalin hubungan yang lebih kuat dengan politisi anti-Modi lainnya.

Sosok dua pimpinan daerah seperti Mayawati dan Mamata seharusnya menjadi sekutu alaminya. Namun kenyataannya, mereka bertekad untuk menggantikan Rahul.

Dengan keberadaan pemimpin yang lebih kuat, kepentingan-kepentingan yang saling tumpang tindih ini akan dapat disatukan sebelum Pemilu.

Namun yang terjadi, perbedaan kepentingan tersebut disatukan dengan kesepakatan-kesepakatan di balik layar.

Jadi, hingga dan hanya dengan kubu oposisi bersatu maka sayangnya tidak akan ada jawaban tepat untuk pertanyaan, “Jika bukan Modi, lalu siapa?”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com