Hal ini pula yang menjadi faktor pembunuh selanjutnya selain bencana alam yang sudah terjadi. Setidaknya, 3.000 orang meninggal dunia akibat hal ini. Sementara itu, angka penderita diare dan disentri, mengalami peningkatan.
Data United States Agency for International Development (USAID) menyebutkan sekitar 780.000 rumah, 9.300 bangunan sekolah, dan 655 pusat pelayanan kesehatan hancur.
Saluran listrik, air, dan komunikasi juga terputus akibat sapuan topan dahsyat ini. Pelabuhan laut di Chittagong dalam kondisi parah, jalur transportasi baik jalan raya maupun rel kereta api terputus, penerbangan juga turut terdampak.
Kawasan yang ada di dalam radius 190 kilometer dari pantai semuanya hancur, sementara di wilayah hingga radius 940 kilometer dari garis pantai kerusakan terjadi.
Pemerintah melarang masyarakat menggunakan sumber air yang ada di sana karena telah tercemar dan tidak layak digunakan baik untuk keperluan kebersihan maupun konsumsi.
Sekitar 247.000 ton tanaman sereal dan 35.000 ton sayuran, umbi-umbian, dan tanaman lainnya hilang dan sekitar 224.000 ekor sapi, 218.000 kambing, dan 2,4 juta ekor unggas diperkirakan tewas dalam topan.
Sektor industri, kehutanan, dan lainnya juga terganggu. Semua ini menghambat proses pemulihan pasca bencana yang harus dilakukan oleh masyarakat.
Berdasarkan video klimatologi yang diambil dari satelit, beberapa hari sebelum bencana terjadi, topan perputaran angina memang sudah terlihat di kawasang Teluk Benggala.
Mulai 24-29 April 1991, angin itu berputar –putar mulai dari arah selatan, ke barat, lanjut ke utara, hingga akhirnya berbelok ke timur dan menghancurkan kehidupan di Chittagong.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.