Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
AM Lilik Agung
Trainer bisnis

Mitra Pengelola GALERIHC, lembaga pengembangan SDM. Beralamat di lilik@galerihc.com.

Meneladani Pemimpin yang Mencium Kaki Rakyatnya

Kompas.com - 21/04/2019, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


SOSOK sepuh itu berjalan tertatih-tatih menuju ke arah Presiden. Tepat di depan Presiden, tiba-tiba sosok sepuh itu bersimpuh dan merendahkan hati dengan mencium kaki Sang Presiden.

Lalu ia berjalan ke arah Wakil Presiden. Dengan cara yang sama, ia bersimpuh dan mencium kaki Wakil Presiden. Ada tiga Wakil Presiden yang menerima perlakuan sama, dicium kakinya.

Ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi. Presiden beserta tiga Wakil Presidennya tidak menyangka apabila sosok sepuh yang jalannya sudah tertatih-tatih itu melakukan tindakan yang mengundang aneka simpati dan gelora emosi.

Sosok sepuh itu, Paus Fransiskus. Presiden dan Ketiga Wakilnya adalah pemimpin tertinggi Sudan Selatan.

Negara yang baru seumuran jagung – merdeka dari Sudan pada tahun 2011 – tak kunjung selesai dilanda perang saudara. Puncaknya pada 2013 dengan korban tewas mencapai 400.000 orang.

Seakan tidak jera, perang saudara sudah di ujung tanduk. Apalagi bekas negara induknya, Sudan sedang mengalami krisis politik nan akut karena terjadi penggulingan Presiden Omar al-Bashir.  Baca juga: Paus Fransiskus Cium Kaki Presiden dan Oposisi Sudan Selatan, Ada Apa?

Pada sisi lain, ada kerendah-hatian dan tanggungjawab moral dari Sang Presiden dan Ketiga Wakilnya. Mereka memilih untuk melakukan retret selama dua hari di Vatikan. Padahal, belum tentu mereka beragama Katolik.

Ketika jalur diplomasi hampir berujung buntu. Ketika negosiasi dengan difasilitasi berbagai negara jalan di tempat, keempat pemimpin ini memilih jalan “spiritual.” Cara spiritual ini mereka pilih untuk menuntaskan perbedaan antar mereka yang bisa berujung pada perang saudara lagi.

Tindakan Paus mencium kaki keempat tokoh itu merupakan wujud nyata dari penyelesaian konflik secara “spiritual.” Memang tidak ada jaminan bahwa konflik akan hilang dan pertumpahan darah sesama anak bangsa Sudan Selatan akan lenyap.

Namun selama dua hari itu, faksi-faksi yang bertikai melihat para pemimpinnya berada dalam kehangatan persaudaraan. Ketika para pemimpin bergandengan tangan, tidakkah rakyat dibawahnya akan saling bergandengan tangan pula?

Apa yang dilakukan Paus Fransiskus terhadap Presiden dan Wakil Presiden Sudan Selatan itu merupakan praktik dari kepemimpinan melayani.

Secara konsep, kepemimpinan melayani ditulis oleh Robert Greenleaf pada tahun 70’an dan dijadikan buku dengan judul “Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power & Greatness.

Sejak buku ini terbit sampai sekarang, praktik kepemimpinan melayani menjadi kajian hangat. Buku karya Robert Greenleaf dijadikan referensi utama pada berbagai perusahaan (organisasi) untuk menciptakan pemimpin-pemimpin pelayan pada berbagai tingkat jabatan.

Ketika kaum milenial menjadi aktor utama dan era disrupsi menerjang organisasi, praktik kepemimpinan melayani tetap tak tergantikan.

Rumus pemimpin yang melayani

Ilmu pengetahuan, seperti matematika, fisika, kimia dan biologi memiliki rumus. Pun dengan kepemimpinan melayani, ia memiliki rumus.

Ada tiga rumus utama dari kepemimpinan melayani. Pertama, kesadaran diri sebagai pelayan yang ingin melayani itulah yang mendorongnya memilih menjadi pemimpin.

Alhasil harus ada perubahan pikiran dan tindakan, dari keinginan menjadi “orang besar”, “orang terkemuka” atau “orang berkuasa” menjadi keinginan melayani.

Sosok ini memiliki kemewahan dalam berbagai hal, mulai dari harta, jabatan, pendidikan hingga strata sosial. Namun melihat masyarakat di sekelilingnya – terutama kaum perempuan – hidup dalam kemiskinan akut, ia memilih untuk meninggalkan menara gading.

Ia – Prof. Muhammad Yunus – mengembangkan konsep kredit mikro bernama Grameen Bank yang melayani pinjaman skala kecil pada masyarakat miskin. Tujuannya adalah menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial dari bawah.

Usaha Yunus berbuah manis. Ada jutaan kaum miskin di Bangladesh yang melek keuangan dan ujungnya pada peningkatan kesejahteraan. Tidak berhenti pada pelayanan kredit mikro, Grameen Bank menjadi bisnis sosial yang menggerakkan berbagai lini usaha.

Konsep orang miskin hanya bisa menolong dirinya bersama orang miskin lainnya berjalan dengan paripurna. Yunus dan Grameen Bank tak lebih berperan sebagai fasilitator. Kaum miskin itu yang bergerak untuk mentas dari lumpur kemiskinan.

Pendiri Grameen Bank Muhammad Yunus. Ia menerima Nobel Perdamaian 2006 di bidang ekonomi atas inisiatifnya mendirikan lembaga keuangan yang melayani kredit mikro.EPA/ABIR ABDULLAH Pendiri Grameen Bank Muhammad Yunus. Ia menerima Nobel Perdamaian 2006 di bidang ekonomi atas inisiatifnya mendirikan lembaga keuangan yang melayani kredit mikro.

Itulah penerapan dari rumus pertama kepemimpinan melayani. Kesadaran diri untuk melayani sesama yang mendorong Yunus memilih menjadi pemimpin. Jika kemudian Yunus menjadi orang besar, terkemuka dan terkenal, itu tak lain karena akibat. Bukan tujuan utama.

Rumus kedua, menjadi pemimpin melayani pertama-tama tidak melihat dirinya sebagai pemimpin (leader first) tetapi pelayan (servant first). Rumus ini mengatakan bahwa kebutuhan konstituen merupakan prioritas tertinggi.

Sebagai raja dengan kekuasaan tidak terbatas, Sri Sultan Hamengkubowono IX dapat dengan mudah memutuskan untuk berpihak kepada Belanda dibanding kepada republik.

Namun karena dorongan kemanusiaan dan panggilan kenegaraan yang kuat, Sri Sultan HB IX memilih untuk berpihak kepada republik. Yogya menjadi ibu kota Indonesia dan kraton menjadi penyokong infrastruktur dan suprastruktur keberadaan sebuah negara.

Dalam konteks ini Sri Sultan HB IX mempraktikkan tanpa basa-basi rumus kedua kepemimpinan melayani. Sultan mau menjadi pelayan republik. Pun kebutuhan konstituen (dalam hal ini para pemimpin republik dan rakyatnya) menjadi prioritas yang dilayani oleh Sultan HB IX.

Rumus ketiga, keinginan untuk melayani itu lahir dari iman dan pengenalan akan Tuhan. Ada sisi menarik dari kajian Robert Greenleaf ini. Ia memasukkan peran Tuhan dalam praktik kepemimpinan. Padahal dalam buku-buku kepemimpinan yang lain, pengenalan apalagi campur tangan Tuhan nyaris tiada pernah menjadi kajian.

Iman dan pengenalan akan Tuhan yang diyakini Paus mewujud dalam bentuk cinta, kasih dan harapan. Sebagai sesama mahkluk ciptaan Tuhan, Paus mencintai dan mengasihi rakyat Sudan Selatan.

Rakyat Sudan Selatan yang baru saja memproklamirkan diri sebagai negara baru tentu ingin kehidupannya jauh lebih baik dibanding ketika masih menjadi satu dengan Sudan.

Dari mana muncul kehidupan lebih baik itu? Para pemimpin tertingginya – dalam hal ini presiden beserta para wakil presiden.

Harapan kepada para pemimpin tertinggi Sudan Selatan ini yang menyebabkan Paus mau mencium kaki mereka. Para pemimpin ini yang kelak akan memenuhi harapan rakyat Sudan Selatan.

Pemimpin melayani, telah paripurna dijalankan oleh Paus Fransiskus, Muhammad Yunus dan Sri Sultan HB IX. Bagaimana dengan kepemimpinan Anda?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com