Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seberapa Buruk Kondisi Perekonomian Turki Saat Ini?

Kompas.com - 03/04/2019, 11:24 WIB
Ervan Hardoko

Editor

ANKARA, KOMPAS.com - Salah satu hal yang menyebabkan partai berkuasa di Turki menelan kekalahan di kota-kota besar dalam pemilihan lokal yang digelar Minggu (31/3/2019) adalah memburuknya perekonomian negeri itu.

Pasar keuangan di Turki telah mengalami gejolak sejak sebelum pemilihan kepala daerah yang digelar.

Mata uang lira turun 5 persen dalam tempo satu hari saja, sementara pasar saham kehilangan 10 persen dalam kurun waktu sekitar sepekan.

Baca juga: Trump Ancam Bakal Hancurkan Ekonomi Turki jika Turki Serang Kurdi

Perekonomian Turki sejatinya mengalami masa yang sangat sulit, dengan resesi yang dibarengi dengan inflasi tinggi.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menuding Barat berada di balik krisis keuangan di negaranya.

Kondisi perekonomian Turki jelas semakin buruk, walau negara itu sempat menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat di bawah Presiden Erdogan.

Erdogan berkuasa sejak 2003, pertama sebagai perdana menteri lalu menjadi presiden, setelah terjadi krisis keuangan yang memerlukan dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Setelah campur tangan IMF, ekonomi Turki berhasil mencatat pertumbuhan sehat, kecuali pada 2009 ketika terjadi resesi dunia.

Selama kurun waktu 15 tahun sejak Erdogan berkuasa, perekonomian Turki berkembang dua kali lipat dengan rata-rata pertumbuhan 5,6 persen per tahun.

Namun, sekarang perekonomian menciut, baik pada kuartal ketiga maupun keempat tahun lalu. Berdasarkan definisi yang biasa digunakan, maknanya adalah Turki mengalami resesi.

Baca juga: Gara-gara Sanksi Rusia, Ekonomi Turki Kehilangan Rp 138 Triliun

Aktivitas ekonomi dalam tiga bulan terakhir 2018 turun 3 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Pengangguran juga tetap terjadi dan menjadi masalah yang semakin buruk. Menjelang Desember 2018, 4,3 juta warga Turki tidak memiliki pekerjaan sehingga tingkat pengangguran mencapai 13,5 persen.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.AFP/ADEM ALTAN Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Apakah pemulihan mungkin terjadi?

Pemulihan mungkin saja terjadi dalam tataran tertentu, tetapi mungkin akan menjadi kejutan jika pertumbuhannya sampai ke tingkat yang terjadi baru-baru ini.

Selama empat tahun mendatang, IMF memperkirakan Turki akan kembali mengalami pertumbuhan.

Namun IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Turki tidak lebih dari 2,5 persen dan bahkan lebih rendah untuk tahun-tahun tertentu.

Baca juga: Wapres Kalla Yakin Badai Ekonomi Turki Tak Pengaruhi Indonesia

Bagi negara dengan pertumbuhan pesat apalagi potensi pertumbuhannya seharusnya relatif baik, pertumbuhan yang diperkirakan IMF tersebut tidaklah impresif.

Turki juga mengalami masalah inflasi yang serius. Harga barang-barang konsumsi pada Februari hampir 20 persen lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya. Angka inflasi Oktober malah lebih dari 25 persen.

Bank sentral biasanya mengatasi inflasi dengan menaikkan suku bunga yang membuat pinjaman ke pihak perusahaan dan nasabah pribadi lebih mahal sehingga mereka mengurangi pengeluaran. Dengan demikian tekanan yang biasanya mendorong kenaikan harga berkurang.

Bank sentral Turki memang menaikkan suku bunga secara drastis tahun lalu. Suku bunga utamanya dipatok sangat tinggi pada tingkat 24 persen. Tetapi Erdogan tidak setuju.

Pandangan Erdogan terhadap masalah ini sangatlah tidak lazim dan hal itu dianggap sebagai persoalan di pasar keuangan.

Berkali-kali ia menyerukan perlunya suku bunga yang rendah dan selama beberapa hari terakhir, ia mengulangi hal yang sama.

Ia menekankan bahwa inflasi sudah turun dari tingkat tertinggi sebelumnya (memang benar). Namun dikatakannya bahwa persoalan utama adalah tingkat suku bunga.

"Inflasi akan turun lebih lanjut dengan menurunkan suku bunga," kata Erdogan.

Anggapan tersebut berlawanan dengan pandangan bank-bank sentral pada umumnya, pasar keuangan dan pandangan di kalangan ahli ekonomi.

Akibatnya, para investor menjadi ragu apakah bank sentral Turki benar-benar independen, meskipun sejauh ini, belum menanggapi seruan presiden untuk menurunkan suku bunga.

Turki juga mengalami persoalan penurunan tajam mata uang, masalah yang muncul kembali selama beberapa pekan terakhir. Persoalan itu memperburuk inflasi karena harga barang-barang impor menjadi lebih mahal.

Suku bunga tinggi dapat membantu menstabilkan mata uang. Dengan demikian investor mendapat keuntungan lebih besar dalam mata uang lira, sehingga mereka terdorong untuk membelinya dan nilai mata uang tersebut ikut terangkat, atau setidaknya mengurangi tekanan agar nilai mata uang lira tidak anjlok lebih rendah lagi.

Menanggapi merosotnya nilai tukar lira, Erdogan memilih untuk menyalahkan pihak-pihak luar: "Semua ini adalah upaya Barat, khususnya Amerika Serikat, untuk menyudutkan Turki."

Regulator perbankan menggelar penyelidikan terhadap perusahaan Amerika Serikat JP Morgan sehubungan dengan satu laporan yang dianggap menggoyang mata uang lira.

"Kita harus mendisiplinkan semua spekulan pasar," kata Erdogan sebagaimana dikutip media.

Biaya meminjam lira juga meningkat drastis di pasar keuangan. Beberapa laporan menyebutkan bank-bank Turki diperintahkan untuk menahan dana dalam bentuk lira. Jika tidak, dana itu bisa digunakan untuk praktik spekulasi mata uang.

Pemerintah juga menggelar pasar murah untuk bahan pangan tertentu.

Operasi pasar tersebut mungkin membantu keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan, tetapi tidak akan menciptakan solusi yang ampuh untuk mengatasi inflasi Turki.

Baca juga: Krisis Keuangan, Turki Kehilangan Sepertiga Miliardernya

Mengenai langkah-langkah untuk menstabilkan mata uang, muncul keragu-raguan mendalam.

Dennis Shen dari perusahaan pemeringkat kredit Scope memberikan pendapatnya.

"Taktik seperti itu untuk memaksa lira stabil dan membatasi penjualan lira mungkin saja mengurangi tekanan spekulatif sampai batas tertentu untuk jangka pendek, tetapi akan membuat lira tidak menarik dalam jangka panjang, memotong investasi asing langsung dan portfolio eksternal, dan arus utang ke Turki."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com