“Hari itu bermula seperti hari-hari pada biasanya—ia (suami Shantabai) pergi ke ladang di awal pagi hari dan tidak pernah kembali. Hari berikutnya, saya mulai pergi bekerja seperti sampai hari ini. Kejadian itu sangat sulit bagi saya karena saya ditinggalkan dengan dua anak yang masih belia,” tukas Shantabai.
Shantabai terdiam setelah menyampaikan ceritanya. Luka dari kilas balik tersebut terlalu besar baginya dan saya harus menyatukan ceritanya dari teman dan tetangga sekitar.
Ternyata, pihak berwenang membayar kompensasi kepada Shantabai atas kematian suaminya sebesar 100.000 rupee (sekitar 1.408 dollar AS). Jumlah ini hanya cukup untuk membayar rentenir lokal.
Walaupun begitu, siklus utang dan rasa putus asa itu tidak berakhir sampai di sini. Beberapa tahun kemudian, saudara suami Shantabai juga bunuh diri diri, meninggalkan iparnya menjanda. Satu keluarga, dua janda.
Musim hujan yang tidak dapat diandalkan, pemerintah yang tidak bersimpati, harga hasil tani yang buruk dan rentenir yang rakus: gabungan kesengsaraan yang sudah lama menghantui masyarakat pedesaan India.
Terlebih lagi, penanam kapas lokal seperti Shantabai dengan tanah miliknya yang kecil, tidak memiliki harapan untuk bersaing dengan petani Amerika yang diberi subsidi besar dan menggunakan mesin canggih.
Lalu, tidakkah mengejutkan bahwa pada 2018, sebanyak 2.761 petani di kawasan Maharashtra saja bunuh diri? Untuk seluruh India, angka bunuh diri petani mencapai lebih dari 12.000 jiwa per tahun. Tentunya, sebagian besar kematian tersebut tidak dilaporkan.
Deflasi menjadi komplikasi tambahan. Ketika harga input dalam produksi agrikultur (pupuk dan pestisida) terus naik, hasil tani seperti tomat, kentang dan bawang yang merupakan makanan pokok masyarakat India, justru terus menurun.
Ketika saya berjalan-jalan di sekitar Chowk (pasar) di Allahabad, para pedagang menunjuk bawang-bawang yang tersusun sempurna dari Nashik di Maharashtra dan menyatakan bahwa harga telah turun 40 persen dalam 12 bulan.
Terdapat pula kesalahan yang dibuat sendiri oleh pemerintah India seperti demonetisasi mendadak di akhir 2016.
Keadaan ini sangat buruk hingga saat saya mengunjungi India awal tahun ini. Kebanyakan orang mengakui pasar belum mendapatkan kembali energi semangatnya.
Di akhir Februari, pemerintah BJP menyadari kesalahan mereka dan kemudian, menggunakan APBN sebagai kesempatan untuk meredakan amarah petani.
Serangkaian skema yang setengah hati dijalankan, termasuk bantuan langsung tunai, mungkin dapat memuaskan beberapa orang, tetapi tetap terasa bahwa upaya ini terlalu sedikit dan terlalu terlambat.
Kondisi buruk Shantabai Teral ini sangat mendesak. Apa yang ia dapat harapkan adalah intervensi pemerintah untuk menyokong harga, memberi subsidi dan melunaskan pinjaman para petani yang kesulitan.
Meninggalkan para petani di tangan kekuatan pasar seperti yang dilakukan Modi bukanlah suatu solusi.
Utang dan kesengsaraan tidak dapat menciptakan India yang tangguh dan percaya diri.
Ketika retorika antara Delhi dan Islamabad semakin lantang, ingatlah pada janda yang tua sebelum waktunya itu. Ia adalah simbol dari pengabaian dan tidak kepeduliaan BJP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.