CHRISTCHURH, KOMPAS.com - Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern pada Kamis lalu mengumumkan larangan penjualan dan peredaran senapan serbu dan semi-otomatis.
Langkah tersebut diambil sebagai respons terhadap serangan teror di dua masjid di Christchurch yang menewaskan 50 orang.
CNN mencatat, pengumuman itu muncul setelah kabinet pemerintahan sepakat untuk merombak undang-undang dan melarang senjata semi-otomatis dan senapan serbu selang 72 jam serangan di Christchurch.
Baca juga: Foto PM Selandia Baru Hiasi Burj Khalifa di Dubai
Lalu, bagaimana dengan AS yang selama ini kerap menghadapi insiden penembakan massal?
Peristiwa ini terjadi pada 1 Oktober 2017 ketika seorang pria melepaskan tembakan dari sebuah kamar hotel ke kerumunan penonton konser.
Sebanyak 58 orang tewas dalam penembakkan massal paling mematikan dalam sejarah modern AS. Pelaku diketahui memakai senjata dengan aksesori bump stock.
Setelah teror tersebut, Massachusettes menjadi negara bagian pertama yang melarang bump stock pada November 2017.
Pemerintahan Donald Trump kemudian melarang akseori yang dapat mengubah senapan semi-otomatis menjadi senapan otomatis pada 18 Desember 2018.
Pada 14 Februari 2018, seorang remaja menggunakan senapan AR-15 untuk membunuh 17 orang di SMA Marjory Stoneman Douglas, Parkland, Florida.
Insiden tersebut memicu murid-murid ke sekolah turun ke jalan untuk meminta pemerintah mengetatkan kepemilikan senjata.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.