BAGHOUZ, KOMPAS.com - Mengenakan kerudung memberikan pandangan baru bagi Rafaela Stoakes. Seorang ibu dua anak yang tinggal di Selandia Baru.
Dengan berkerudung, Stoakes mengaku telah mendapatkan wawasan tentang apa artinya menjadi bagian dari sebuah minoritas dalam masyarakat.
Pada Jumat (22/3/2019), dia mengenakan kerudung yang menutupi hampir semua kepalanya. Dia menyilangkan kerudung itu di bawah dagu, dan dimasukkan ke dalam jaket mendakinya.
Baca juga: Cerita Relawan yang Mandikan Jenazah Korban Penembakan di Masjid Selandia Baru
Stoakes merupakan salah satu perempuan yang tergabung dalam tagar #HeadScarfforHarmony maupun #ScarvesInSolidarity di media sosial Twitter.
Dilaporkan AFP dan London Evening Standard, para perempuan itu berkerudung sebagai wujud pernyataan perdamaian dan solidaritas atas teror di masjid Christchurch.
Penembakan yang dilakukan teroris asal Grafton, Australia, saat pelaksanaan Shalat Jumat itu menewaskan 50 jemaah, dan melukai 48 lainnya.
Selain mereka, kerudung juga dikenakan polisi maupun relawan perempuan ketika membantu mengamankan jalannya Shalat Jumat di Christchurch.
Supporting my Muslim sisters and brothers today as we come together @WaitemataDHB to show our aroha and ongoing support for #Christchurch #kiakaha #headscarfforharmony #weareone #TheyAreUs pic.twitter.com/xrEcgrxnvV
— Tamzin Brott (@TamzinBrott) March 22, 2019
Stoakes mengaku dia baru pertama kali mengenakan kerudung. "Sungguh luar biasa melihat saya sempat merasa berbeda saat mengenakannya," tuturnya.
Ibu berusia 32 tahun itu mengatakan ada warga yang melihatnya dengan kebingungan. Ada juga yang melemparkan pandangan agresif kepadanya.
Dari pengalamannya meski singkat itu, Stoakes sempat merasa sangat rentan karena hanya dia satu-satunya di lingkungannya yang mengenakan kerudung.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.