Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Air Kotor 20 Kali Lebih Mematikan bagi Anak di Zona Konflik Dibanding Peluru

Kompas.com - 22/03/2019, 19:34 WIB
Retia Kartika Dewi,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tepat hari ini, tanggal 22 Maret 2019, diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Peringatan ini ditujukan sebagai usaha menarik perhatian publik akan pentingnya air bersih dan usaha penyadaran mengelola sumber air bersih yang berkelanjutan.

Namun, lain halnya yang terjadi di sejumlah zona konflik. Anak-anak balita yang tinggal di zona konflik punya potensi 20 kali lebih memungkinkan meninggal karena penyakit diare dari sanitasi tak layak, ketimbang kena peluru.

Organisasi Perlindungan Anak Dunia (Unicef) menganalisis data kematian dari 16 negara yang dilanda konflik, seperti Afghanistan, Burkina Faso, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Chad, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, Irak, Libya, Mali, Myanmar, Somalia, Sudan Selatan, Sudan, Suriah, dan Yaman.

Badan anak-anak PBB itu juga menemukan bahwa air yang tidak bersih dan sanitasi tak layak membunuh hampir tiga kali lebih banyak anak-anak di bawah usia 15 tahun, daripada perang yang melanda negara mereka.

Direktur eksekutif Unicef, Henrietta Fore mengatakan, temuan yang diterbitkan untuk memperingati Hari Air Sedunia menggarisbawahi perlunya akses ke air bersih dan sanitasi sebagai hak asasi manusia dan bukan hak istimewa.

"Serangan yang disengaja pada air bersih dan sanitasi adalah serangan terhadap anak-anak yang rawan dengan kesehatan tubuh," ujar Fore.

"Kenyataannya adalah bahwa ada lebih banyak anak yang meninggal karena kurangnya akses ke air bersih daripada karena peluru. Air adalah hak dasar. Itu adalah kebutuhan untuk kehidupan," kata dia.

Laporan tersebut membandingkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang "kekerasan kolektif" dan "penyakit diare" dari 2014 hingga 2016 di 16 negara yang dilanda konflik tersebut.

Penyakit diare yang disebabkan karena ketidakbersihan air dan sanitasi rata-rata telah membunuh 72.000 anak di bawah lima tahun tiap tahun.

Angka ini terlampau tinggi menilik kekerasan langsung akibat perang yang membunuh rata-rata 3.400 anak tiap tahunnya.

Menurut laporan, diare membunuh lebih banyak balita di masing-masing dari 16 negara yang dianalisis di Libya dan Suriah.

Anak-anak yang berumur di bawah 15 tahun cenderung lebih mungkin meninggal karena penyakit yang berkaitan dengan air yang tidak bersih di mana-mana, selain di Libya, Irak, dan Suriah.

"Manusia dapat melarikan diri atau berlindung dari peluru atau bom, tetapi mereka akan berlari dan mencari air dengan cara apa pun," ujar Kepala daerah Air, Lingkungan, dan Sanitasi Unicef untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Omar El Hattab.

"Sayangnya, air yang tidak aman, sanitasi dan kebersihan menjangkau setiap rumah tangga, masih akan dituntut oleh orang-orang. Apalagi jika mereka merasa haus, otomatis mereka akan minum segala jenis air," tambah Omar.

Omar mengungkapkan, seorang anak meninggal tiap 10 menit di Yaman. Penyebabnya karena kekurangan gizi, kolera, diare dan beberapa penyakit yang berkaitan dengan air yang tidak bersih.

Diperoleh laporan lainnya yang mengungkapkan, kurangnya akses air dan sanitasi yang memadai berdampak lebih buruk pada anak perempuan daripada anak laki-laki, membuat mereka rawan terhadap kekerasan seksual ketika mereka mengambil air atau menggunakan kakus.

"Namun sifat konflik yang berubah berarti bahwa sistem air, sanitasi, dan kebersihan sering dijadikan sasaran untuk menyerang warga sipil, yang melanggar Konvensi Jenewa," kata Sian White, dari London School of Hygiene and Tropical Medicine.

"Pelaku konflik semakin memandang sistem air dan sanitasi sebagai aset perang yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan kekuasaan dan dimusnahkan untuk merugikan warga sipil," ujar White.

Sementara, El Hattab mengungkapkan, pengeboman pabrik produksi air di Hodeida pada Juli lalu merampas lebih dari 1 juta orang air minum

Tak hanya itu, pertempuran di Suriah juga mengakibatkan sistem air, sanitasi dan listrik utama rusak berulang kali sejak konflik pecah pada 2011. Aksi yang disengaja itu memengaruhi sebanyak 2 juta orang.

"Layanan air, sanitasi, dan higienis tidak boleh diganggu atau dipolitisasi: akses terhadap air bersih adalah hak asasi manusia, bukan hak istimewa," kata El Hattab.

"Serangan sembarangan terhadap layanan air dan sanitasi harus dihentikan, dan personel untuk pasokan listrik, dan pekerja air dan sanitasi harus diizinkan untuk mengakses fasilitas untuk perbaikan dan pemeliharaan terlepas dari di mana fasilitas itu ada," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com