Debat Cawapres Pilpres 2019 semestinya mempertemukan Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno dalam sebuah laga ide. Kenyataannya, keduanya lebih senang unjuk seni berpidato ketimbang mengadu gagasan konkret.
Padahal, pertanyaan mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan stunting ideal karena tiga hal. Pertama, keduanya adalah isu kesehatan terpopuler di Google Trends. Kedua, dari sudut pandang tata kelola, Presiden memiliki kuasa paling besar menentukan arah implementasi JKN, sementara kantor Sekretariat Wakil Presiden memegang komando kolaborasi 23 Kementerian/Lembaga dalam isu pencegahan stunting. Ketiga, solusi untuk JKN dan stunting mengandung detail kebijakan yang pelik dan tidak instan.
Jika saja malam itu kedua Cawapres menjawab pertanyaan moderator dengan mendalam, publik tidak hanya mendapat platform penentuan agenda (agenda setting) yang berharga, tetapi juga terlindung dari retorika politik yang kering dan klise.
Pemerhati kebijakan kesehatan pantas kecewa dengan kedalaman pertarungan gagasan pada debat Cawapres Pilpres 2019. Walau tampak meyakinkan, keduanya gagal memberikan solusi konkret dari isu kesehatan yang kompleks dan, akibatnya, nyaris tidak menawarkan terobosan apapun.
Peningkatan Kualitas Layanan dan Pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional
Isu JKN muncul dalam dua kesempatan. Selayaknya petahana, Ma’ruf Amin mebanggakan cakupan kepesertaan yang mencapai 215 juta jiwa. Sebuah angka yang menempatkan JKN sebagai asuransi sosial single pool terbesar di dunia.
Tidak ada yang salah dengan pernyataan Ma’ruf, namun publik berhak mendengar keadaan yang seutuhnya. Hingga tahun keempat, BPJS Kesehatan masih didera defisit pembiayaan triliunan rupiah. Iuran yang belum sesuai hitungan aktuaria dan ketidakmampuan BPJS Kesehatan melakukan kendali mutu serta kendali biaya menyebabkan defisit menggulung dari tahun ke tahun.
Sandiaga Uno menekankan dampak dari persoalan defisit pembiayaan pada kesenjangan akses dan kualitas layanan. Untuk menambah dramatisasi, Sandiaga kembali mengangkat nama seorang warga biasa sebagai korban persoalan defisit JKN. Dia juga menyoroti efek bola salju pembiayaan JKN yang rendah: pembayaran klaim rumah sakit tertunda, tenaga kesehatan tidak mendapat insentif tepat waktu dan pembayaran obat ke perusahaan farmasi terhambat.
Sandiaga Uno menjanjikan target penyelesaian akar permasalahan JKN dalam 200 hari pertama kepemimpinannya bersama Prabowo yang diawali dengan komitmen politik untuk menghitung ulang aktuaria. Sayangnya, Sandiaga masih berhenti pada tataran retorika politik dan gagal memberikan strategi konkret penyesuaian kontribusi iuran.
Kubus Jaminan Kesehatan Semesta milik WHO merumuskan tiga dimensi penting: (1) seberapa besar persentase penduduk yang dilindungi; (2) seberapa lengkap pelayanan yang dijamin; dan 3) seberapa besar biaya langsung yang masih ditanggung penduduk.
Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat ini mencapai 215 juta jiwa (81%), masih di bawah target akhir tahun 2019 sebesar 257,5 juta jiwa (95%). Isu kelompok pekerja informal yang tidak tercakup dalam kepesertaan JKN dan banyaknya peserta baru mendaftar pada saat sakit luput dari perhatian.
Upaya memberikan akses layanan kesehatan seluas-luasnya kepada publik menimbulkan lonjakan utilisasi yang membebani anggaran kesehatan. Arus kas Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan tahun 2018 menunjukkan defisit sebesar Rp16,5 triliun.
Keberlangsungan JKN bergantung pada opsi kebijakan terkait iuran atau pembiayaan langsung dan non-iuran. Solusi mendatangkan aktuaria dari Hong Kong yang ditawarkan Sandiaga terdengar sangat dangkal. Pemerintah telah lama berkelit untuk menunda kenaikan iuran peserta JKN, sesuai amanat pasal 161 Perpres Nomor 111 tahun 2013, walau hitungan aktuaria ideal sudah tersedia.
Pemerintah yang saat ini khawatir akan dampak kegaduhan politis dari kenaikan iuran juga menutup mata dari sumber pendanaan inovatif berupa optimalisasi dan penggunaan cukai dari rokok, gula, garam dan lemak untuk JKN. Padahal kebijakan ini berpotensi besar sebagai: (1) upaya pencegahan penyakit katastropik yang prevalensinya menurut Riskesdas 2018 semakin menggila, (2) upaya menurunkan biaya pengobatan; dan (3) peningkatan pemasukan anggaran kesehatan.
Strategi Penurunan Angka Stunting