Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Orchida Ramadhania
Pengamat

Tim Jubir Presiden bidang Komunikasi Politik dan Pemerintahan.

Melawan Manifesto Kebencian

Kompas.com - 19/03/2019, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sesuai dengan apa yang pernah disepakati dalam musyawarah Nahdlatul Ulama, penggunaan kata-kata "kafir" sudah terlalu sering diucapkan bukan untuk ranah teologis, namun untuk konotasi yang negatif membuka jurang identitas antara kau dan kami.

Selain bahwa label "kafir" dan "komunis" seringkali adalah tuduhan yang tidak bisa dibuktikan (siapa yang punya otoritas untuk membuktikannya?), kata-kata tersebut bagi saya telah menjelma seperti kata "nigger" di Amerika. Digunakan hanya untuk merendahkan, memicu keributan, dan memantik sentimen antarwarga.

Kata-kata akan semakin berpengaruh terutama jika dilontarkan oleh pemimpin atau elite politik.

Sejak Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, misalnya, laporan hate speech dan hate crimes meningkat secara drastis.

Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin dan elite politik menentukan tone dari keseluruhan pembicaraan publik.

Kadang elite politik secara gegabah menggunakan terma-terma yang memecah-belah untuk kepentingan popularitas semata. Padahal, bagi rakyat yang mesti hidup berdampingan dan menghadapi kesulitan hidup tiap hari, kalimat itu sungguh menyakiti mereka.

Hal ini juga yang menyebabkan Australia semakin disorot setelah insiden ini yakni karena sikap salah satu elite politik mereka, yaitu Senator Fraser Anning dan cuitannya di Twitter yang menyalahkan penembakan Selandia Baru justru pada proses imigrasi dan para Muslim.

Kedua, social media itu berpengaruh. Seperti ISIS, kelompok teroris "white supremacist" ini mempergunakan platform media sosial untuk memperluas pengaruh terornya.

Facebook memang dikabarkan segera menghapus konten ini, namun nyatanya video tersebut masih dapat ditemukan beredar di sosmed, seperti Twitter, Youtube, atau WhatsApp.

Masih belum diketahui apakah kelompok ekstrem kanan ini juga melakukan perekrutan dan perluasan ideologinya melalui social media seperti ISIS.

Namun, jika melihat dari bagaimana mereka menyiapkan live streaming kejahatan ini di Facebook, baik sebelum dan ketika kebrutalan dijalankan, jelas social media telah menjadi unsur penting dari radikalisme mereka.

Facebook dituduh tidak melakukan tindakan yang cukup untuk menghentikan konten-konten kebencian, terlepas dari keuntungan besar sekitar 5 miliar dollar AS yang perusahaan itu dapatkan setiap 3 bulan.

Berdasarkan laporan The New York Times pada Desember 2018 berjudul "Inside Facebook's Secret Rulebook for Global Political Speech", kita dapat mengetahui bahwa saat ini ada sekitar 15.000 orang yang ditugaskan untuk memonitor konten Facebook di seluruh dunia.

Setiap Selasa, di headquarter Facebook akan ada rapat yang terdiri dari para engineer dan lawyer beserta buku panduan (guidelines) dan Power Point mereka yang akan menentukan kata-kata dan kalimat apa saja yang mengandung konten kekerasan dan kebencian.

Seringkali mereka kewalahan menangani konteks dan konsep yang amat variatif dari berbagai negara di dunia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com