Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Orchida Ramadhania
Pengamat

Tim Jubir Presiden bidang Komunikasi Politik dan Pemerintahan.

Melawan Manifesto Kebencian

Kompas.com - 19/03/2019, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JUMAT, 15 Maret 2019, mungkin termasuk hari paling kelam dalam sejarah Selandia Baru.

Dunia terenyak. Sebuah negara yang pada 2010 silam sempat berada di posisi pertama berdasarkan indeks negara paling Islami yang dipublikasikan oleh George Washington University, kali ini menjadi tempat dieksekusinya salah satu kejahatan kebencian paling brutal.

Yang menambah elemen tragis dari peristiwa ini adalah karena Jacinda Arden, Perdana Menteri Selandia Baru, termasuk figur pemimpin perempuan yang paling progresif belakangan ini.

Seperti Barack Obama, ia mendukung gerakan imigrasi. Ia membuka pintu bagi para pendatang untuk menjadikan Selandia Baru sebagai rumah mereka.

Namun, kebijakan semacam itu ternyata menciptakan ketakutan dan kekhawatiran tersendiri bagi kelompok tertentu.

Beberapa fakta yang bisa kita ketahui dari peristiwa penembakan masjid di Christchurch ini adalah bahwa penembakan tersebut dilakukan dengan senjata api oleh seorang yang berkebangsaan Australia.

Ketika melakukan penembakan di masjid, pelaku menggunakan kamera yang ditempelkan di tubuhnya untuk menyiarkan secara langsung penembakan tersebut di media sosial.

Dalam rekaman tersebut, pelaku menembak dengan santai dan perlahan memastikan bahwa orang yang berada di dalam maupun di luar masjid yang ia temukan menjadi sasaran tembak.

Pelaku kembali ke mobil setelah melakukan aksinya membunuh 50 orang dan melukai 50 orang lainnya dengan brutal, lalu menunjukkan ekspresi tersenyum puas sebelum minum seperti biasa.

Fakta lain adalah adanya sebuah manifesto penuh kebencian, antiimigran dan anti-Muslim sekitar 80 halaman yang menjadi dasar dilakukannya aksi tersebut.

Dari fakta-fakta tersebut, apa yang setidaknya bisa kita pelajari? Menurut saya ada beberapa hal yang amat berpengaruh dan harus diperhatikan.

Pertama, kata-kata itu berpengaruh. Perlu waktu dan proses sebelum kata-kata atau ujaran kebencian (hate speech) menjelma menjadi sebuah kejahatan kebencian (hate crime).

Saya setuju dengan apa yang pernah dikatakan Nelson Mandela bahwa "tidak ada orang yang terlahir membenci orang lain... mereka harus belajar untuk itu".

Kebencian itu diajarkan, ditularkan, lewat proses yang berulang-ulang. Hal ini terbukti dari adanya manifesto antiimigran dan anti-Muslim yang diunggah oleh pelaku penembakan sebagai pemicu sekaligus justifikasi atas aksinya.

Belajar dari itu, menurut saya, kita semua saat ini harus selalu ingat untuk menahan diri. Istilah-istilah yang membelah masyarakat seperti "kafir" atau bahkan "komunis", misalnya, dalam relasi kebangsaan sesama warga negara sudah tidak boleh digunakan lagi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com