Di tengah kekacauan itu, Irshad bercerita bahwa dia ingin memperdalam ilmunya di Matematika sejak enam tahun yang lalu.
“Kerusuhan menghancurkan pendidikan saya. Saya mencoba kembali pergi ke sekolah lima bulan setelah kerusuhan. Tapi yang terjadi, teman-teman kelas justru mengeroyok saya. Saya tidak pernah ke sekolah lagi setelah itu,” cerita Irshad.
Butuh waktu hingga dua tahun untuk menghilangkan rasa traumanya dan untuk keluarganya mengumpulkan uang yang cukup untuk biaya sekolahnya.
Sekolah barunya juga tidak jauh berbeda. Gurunya yang seorang “Islamophobia”, atau diskriminatif terhadap Islam, menggagalkan setiap murid Muslim di kelasnya dan memberikan nilai yang tinggi ke murid-murid lain, bahkan yang terbodoh sekalipun.
Dengan kesalnya, Irshad bercerita, “Saya hampir menyerah. Saya tidak pergi ke sekolah lagi. Sekarang saya belajar dari rumah untuk mempersiapkan ujian," katanya.
"Jika mereka menggagalkan saya sekali lagi hanya karena saya seorang Muslim, maka tidak ada pilihan bagi saya selain untuk bekerja di tempat pembakaran batu bata. Ada banyak murid Muslim lainnya, yang jauh lebih pintar dari saya, yang bekerja di sana,” pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.