Ayah tiga anak ini kini menghadapi tantangan hukum atas blokade ini. “Tanah ini milik kami. Walau tidak ada landasan hukumnya, dulu leluhur kami telah membuat perjanjian secara lisan dengan pemerintah Malaysia. Kami telah berada di tanah ini selama ribuan tahun," kata Mustafa.
"Maka, benarlah perkataan orang-orang: Jika Orang Asli dilempar ke dalam hutan dengan hanya sebuah pisau parang dan korek, dia akan bertahan hidup. Tapi, jika dilempar ke perkotaan, dipastikan dia akan mati,” lanjut Mustafa.
Tim Ceritalah berkunjung ke area blokade tersebut pada Desember 2018. Sungai-sungai di sekitarnya bak kopi susu, berwarna coklat dan keruh. Sedimentasi yang diakibatkan penebangan pohon telah membuat air di sungai tidak bisa diminum.
Dahulu kala, banyak tanaman herbal tumbuh di hutan ini, yang kemudian dipanen dan dijual oleh para Orang Asli. Sekarang, semua akarnya telah dicabut dan tanahnya pun menjadi kering.
Pohon-pohon berumur ratusan tahun yang tumbuh menjulang tinggi ke angkasa dan menjadi rumah bagi para satwa hutan kini telah ditebang untuk memberi ruang bagi pohon-pohon durian yang akan ditanam berjajar dengan jarak 10 meter satu sama lain. Pemandangan yang sangat menyedihkan.
Shaffira Sabrina Syed Akil, seorang pencinta lingkungan ternama, mencoba untuk menyelesaikan perselisihan ini.
“Tujuan utama saya adalah untuk melindungi hutan-hutan dari kehancuran, terutama dari penebangan hutan yang sembarangan. Jika kita melindungi hutan, kita melindungi Orang Asli,” kata Sabrina.
Akhir-akhir ini ada beberapa hal positif yang terjadi. Tiga bulan setelah Pemilihan Umum Mei 2018, Sabrina Sahriffa dan Mustafa menghadap Perdana Menteri Dr Mahathir Mohamad dan menyerahkan memorandum meminta pemerintah pusat untuk turun tangan.
Kegiatan aktivis dan lobi mereka akhirnya menunjukkan hasil. Pada 18 Januari 2019, pemerintahan Mahathir mengajukan gugatan terhadap pemerintah negara bagian Kelantan sebab dianggap gagal melindungi tanah Orang Asli di Gua Musang.
Bagi Mustafa Along, keputusan ini merupakan perkembangan. “Ini penting bagi kami. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah peduli mengenai keberlangsungan Orang Asli. Namun, pemerintah seharusnya bertindak dari dulu. Lihat sekarang, kerusakan yang melanda hutan kami sudah tidak bisa diperbaiki,” kata Mustafa.
Shariffa Sabrina menambahkan bahwa upaya konservasi lingkungan harus dilakukan secara menyeluruh.
Sabrina bertutur, “Saya mengapresiasi pemerintah sekarang. Hal ini tidak pernah terjadi di pemerintahan sebelumnya. Namun, pada akhirnya masyarakat Malaysia sendirilah yang harus mulai belajar dan melakukan perlindungan alam yang ada di sekitar kita. Pemerintah tidak bisa melakukannya sendiri. Hutan-hutan ini adalah milik kita semua.”
China memiliki kapasitas untuk mengubah, bahkan mengendalikan kepentingan kelompok-kelompok kecil di Asia Tenggara. Kita perlu menyadari dampak negatif yang dapat ditimbulkan, baik dari aspek lingkungan, sosial, maupun budaya, sebelum kita menjadi pemasok bagi sang negara adidaya di utara ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.