Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salman Rushdie: Saya Tak Ingin Bersembunyi Lagi

Kompas.com - 11/02/2019, 12:03 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

Sumber AFP

PARIS, KOMPAS.com - Masihkah Anda ingat dengan nama Salman Rushdie? Di adalah novelis yang menulis buku menghebohkan "Tha Satanic Verses" atau "Ayat-ayat Setan".

Pada 14 Februari 1989, pemimpin spiritual Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini menganggap buku Rushdie ini sebagai penistaan agama dan menjatuhkan hukuman mati untuk sang penulis.

"Saya tak ingin lagi bersembunyi," kata Rushdie kepada AFP dalam kunjungannya ke Paris, Perancis.

Rushdie, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai penulis terhebat India setelah Rabindranath Tagore, akhirnya harus menghabiskan waktu 13 tahun menggunakan nama palsu dan perlindungan polisi.

Baca juga: Dua Putri Obama Membeli Buku Karya Salman Rushdie

"Saat itu saya berusia 41 tahun, kini saya 71 tahun. Kondisi sudah lebih baik," ujar Rushdie.

"Kita hidup di masa semua hal berubah dengan cepat. Dan ini adalah masalah lama. Kini banyak hal yang bisa ditakuti dan banyak orang lain yang bisa dibunuh," kata dia dengan nada sedih.

Rushdie berhenti menggunakan nama palsu pada 11 September 2001, ketika Teheran mengatakan, ancaman eksekusi terhadap dia sudah berakhir.

Meski demikian, polisi tak berseragam massih disiagakan di luar kantor penerbitnya di Paris saat melayani wawancara dengan AFP.

Sementara, beberapa polisi lain juga disiagakan di taman tak jauh dari bangunan itu.

Sebelumnya, Rushdie telah meyakinkan para pengunjung yang skeptis di sebuah pameran buku di Perancis bahwa dia sudah hidup normal di New York, AS.

Baca juga: Iran Ancam Boikot Pameran Buku karena Mengundang Salman Rushdie

Di kota itu, Rushdie sudah tinggal hampir dua dekade.

"Saya bahkan naik kereta bawah tanah," lanjut dia.

"The Satanic Verses" adalah buku kelima Rushdie dan kini dia tengah menyelesaikan bukunya yang ke-18.

Buku baru itu berjudul "The Golden House" yang berkisah tentang seorang pria dari Mumbai, yang seperti dirinya, mencoba memulai kehidupan baru di New York untuk melupakan masa lalunya.

"Masa-masa kelam penuh kekacauan, ancaman bom, pembunuhan salah satu penerjemah buku saya, penembakan, dan penikaman dua lainnya, kini terasa amat jauh," ujar Rushdie.

Rushdi menambahkan, bukunya yang menghebohkan itu amat disalahartikan.

Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: AA Milne, Penulis Petualangan Winnie the Pooh

"Sebenarnya, itu adalah novel yang berkisah tentang para imigran Asia Selatan di London," kata dia.

Salah seorang kawan Rushdie, penulis Inggris berdarah Pakistan Hanif Kureishi mengatakan, hari ini tak ada seorang pun yang berani menulis "The Satanic Verses" apalagi menerbitkannya.

Kureshi, penulis novel "The Black Album" yang banyak mendapat pujian yang berkisah soal para pemuda Muslim Inggris yang terpapar radikalisasa, mengaku saat membaca buku Rushdie dia tak menyangka karya tersebut akan memicu kontroversi.

"Saat itu saya tidak menemukan apapun yang bisa menyinggung kelompok fundamentalis. Saya memahami buku itu sebagai kisah tentang psikosis, pembaruan, dan perubahan," kata Kureshi.

Namun, kontroversi seputar buku Rushdie itu menjadi sebuah awal bangkitnya politik Islam.

Penulis dan jurnalis India Salil Tripathi dari PEN International, yang mengkampanyekan hak-hak para penulis, mengatakan, dia berharap penerbit besar masih berani untuk mencetak
"The Satanic Verses".

"Di India dengan nasionalisme Hindu, orang amat takut berbicara soal para dewa dan dewi karena tak tak konsekuensi apa yang akan menimpa. Ancaman kelompok fundamentalis telah meningkat secara fenomenal,"kata Tripathi.

Sekarang, intimidasi dilakukan kelompok massa dan bukan lagi pemerintah. Tripathi menilai, sebagian tokoh agama membutukan kemarahan massa untuk publikasi.

Menurut Tripathi, kondisi ini amat menakutkan khususnya bagi para penulis sebab kondisi intoleransi yang kompetitif terus tumbuh.

Sean Gallagher, dari Index of Censorship yang berbasis di London, mengatakan bahwa dunia belum bergerak banyak sejak masalah Salman Rushdie.

"Isu yang kita hadapi sekarang masih sama. Debat soal hukum penistaan agama menjadi bagian pembicaraan yang terus terulang," ujar Gallagher.

"Amat penting bagi kita untuk terus memperjuangkan kebebasan berekspresi dan dialog antarbudaya," tambah dia.

Baca juga: Mengenal Michael Wolff, Penulis Buku Kontroversial tentang Trump

Sementara,  Rushdie mencoba untuk bersikap filosofis saat ditanya soal bukunya yang kontroversial itu.

"Saya ingin mengambil posisi Edith Piaf: Je ne regrette rien (tak ada penyesalan)," ujarnya mengutip kalimat dalam lagu terkenal penyanyi Perancis itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber AFP
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com