Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Tentara Jepang yang Bersembunyi di Hutan Selama 28 tahun

Kompas.com - 24/01/2019, 17:26 WIB
Aswab Nanda Pratama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ketika Perang Dunia II berkecamuk, beberapa negara membuat kebijakan kepada rakyatnya harus ikut peperangan. Lelaki sipil dijadikan relawan untuk membantu militer terjun di garda terdepan.

Tak hanya Amerika Serikat yang melakukan kebijakan ini, Jepang juga melakukannya. Para pemuda sipil ini dilatih baris berbaris, menggunakan senjata, dan juga mengendalikan pesawat terbang yang nantinya akan dijadikan aksi kamikaze.

Namun, ketika Nagasaki dan Hiroshima hancur karena bom atom, Jepang menyerah. Para tentara yang tersebar di berbagai wilayah juga harus menyerah kepada pihak Sekutu.

Lain halnya dengan seorang tentara Jepang bernama Shoici Yokoi. Dia merupakan seorang tentara berpangkat kopral dari Angkatan Darat Jepang pada Perang Dunia II.

Dilansir dari BBC, ketika terjadi pertempuran di sekitar Pasifik Barat, Jepang mendapatkan perlawanan sengit dari tentara AS. Korban banyak di kedua sisi. Kemudian, begitu komando Jepang mengalami masalah, Yokoi dan pletonnya ditinggalkan sendiri.

Pada tahun-tahun awal, tentara Jepang di Pasifik Barat itu segera berkurang menjadi beberapa orang. Mereka terpaksa bertahan hidup dengan menangkap dan membunuh sapi untuk makanan mereka.

Baca juga: Tulang Tentara Jepang Saat PD II Ditemukan Berserakan di Goa

Saat kondisi semakin berbahaya, Yokoi dan kawannya bersembunyi ke dalam hutan. Mereka makan kodok, belut, bahkan tikus untuk bertahan hidup.

Prinsipnya adalah daripada tertangkap dan dibunuh tentara AS, lebih baik mereka bersembunyi. Akhirnya, lambat laun tinggal Yokai saja yang tersisa, dari sejumlah pasukan di Pulau Guam itu.

Dua teman terakhirnya yang selamat meninggal dalam banjir pada 1964.

Ditemukan setelah puluhan tahun

Tepat pada 24 Januari 1972, tentara yang berusia 57 tahun itu ditemukan hidup sendiri dalam hutan. Dia ditemukan oleh seorang pemburu lokal di Pasifik.

Pulau Guam mempunyai luas 517.998 kilometer persegi terletak di Pasifik Barat. Dilansir History.com, di hutan Guam, dia bertahan hidup dan selama tiga dekade berikutnya menunggu kembalinya pasukan Jepang.

Ketika ditolong oleh pemburu, dia merasa ketakutan karena masih menganggap perang masih berlangsung. Namun, pemburu menyelamatkannya.

Yokoi bercerita bahwa suatu hari temannya akan kembali menemukan mereka di pulau tersebut.

Ketika berjuang hidup sendirian, Yokoi membuat jebakan dari alang-alang liar untuk menangkap belut. Dia juga menggali sendiri tempat berlindung di bawah tanah, didukung oleh tongkat bambu yang kuat.

Baca juga: Di Buton Selatan Ada Goa Bekas Penyiksaan Warga oleh Tentara Jepang

Setelah ia ditemukan pada 1972, ia akhirnya dipulangkan dan dikirim pulang ke Jepang, di mana ia dipuji sebagai pahlawan nasional.

Sampai di Jepang, dia diwawancarai di radio dan televisi. Yokoi juga diundang untuk berbicara di universitas dan di sekolah-sekolah di seluruh Jepang.

Dia kemudian menikah dan kembali ke Guam untuk berbulan madu. Alat bertahan hidup buatannya, juga seragam tipisnya kini dipajang di Museum Guam di Agana.

Dilansir dari New York Times, kasus Yokoi menyoroti transformasi luar biasa yang telah dialami Jepang ketika perang. Dia adalah lambang nilai-nilai ketekunan sebelum perang, serta kesetiaan kepada Kaisar.

Pada September 1997, Yokoi meninggal. Sosok yang dikenal sebagai pahlawan jepang ini terkena serangan jantung. Ketika itu Yokoi berusia 82 tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com