Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Amandine Mareschi dan Kehangatan Indonesia di Sudut Swiss

Kompas.com - 29/12/2018, 09:53 WIB
Ervan Hardoko

Editor

Perempuan pemilik dua ekor kucing itu, memang cukup terikat jiwa raganya dengan Indonesia, khususnya Bali dan Yogyakarta.

"Kalau saya boleh mimpi, suatu saat ingin menetap di Yogyakarta,“ imbuhnya.

Perempuan yang bermimpi ingin tinggal di Yogyakarta itu bernama Amandine Mareschi. Dari nama keluarganya, ada darah Italia mengalir di nadinya. Sementara nama depannya condong ke Perancis.

Tak salah, bapaknya berdarah Italia namun lahir di Perancis, dan Pascale, ibunya, asli Swiss. Amandine  lahir di Jenewa, 30 tahun silam.  

Baca juga: Lewat Nada Nusantara Mia Patria Choir Luluhkan Hati Warga Swiss

Di Saint Gallen, saat gerimis menyiram kota yang tak jauh dari Jerman dan Austria itu, Amandine sedang menjalani praktik kerja di pengadilan tinggi kota tersebut.

"Tapi, itu tadi, hati saya Indonesia,“ desisnya.

Semua bermula saat plesiran di Bali, ketika Amandine masih berusia 6 tahun. Bukan hanya pura, pantai dan kuliner Pulau Dewata yang menarik hatinya. "Tapi juga budayanya, khususnya bagaimana orang Bali menari,“ akunya.  "Saya ingin seperti mereka, saya ingin menjadi penari, saya jatuh cinta,“ kenangnya.

Kembali ke Jenewa, kepalanya penuh dengan kenangan betapa indahnya orang orang Bali menari.  Apalagi, ibu bapaknya membeli kaset gamelan Bali.

"Tiap hari saya menari, sekenanya, karena memang belum bisa,“ katanya.  

Kesempatan belajar menari Bali tiba ketika di Jenewa, Swiss, ada festival musik. Dari kejauhan, kenang Amandine, terdengar alunan gamelan.

Ke asal suara itulah, Amandine menemukan tiga pemain gamelan, sekaligus minta, jika ada, mengajarkan bagaimana agar bisa menari Bali. "Saat itulah, masih enam tahun, saya belajar menari Bali, “ kenangnya.

Waktu berlalu, dan hari berganti.  Dari anak kecil, imut,  mekar remaja. Tapi hatinya, tetap ke Indonesia.

Setiap kali musim liburan tiba, keluarga ini menyempatkan diri berlibur ke Indonesia,  atas permintaan Amandine. 

Tak hanya makin memperdalam tarian Bali, tapi juga menetaskan persahabatan dengan  orang Bali.

"Lalu saya belajar bahasa Indonesia, sekenanya saja, tanpa guru, hanya dari kamus," katanya.

Saat itu usianya 15 tahun. Gamelan, baik gamelan Jawa dan Bali, juga dipelajarinya. Kemampuan tari Balinya, mencapai 12 buah, sementara empat tari Jawa dia kuasai.

Meskipun kini berada di Swiss, Amandine menganggap Indonesia adalah separuh tanah airnya. "Ya, hati saya ini, untuk Indonesia,“ katanya.

Meskipun banjir pujian publik, lulusan jurusan komunikasi Universitas Jenewa ini, merasa belum sempurna. Taksu, aura magis penari Bali, belum dikuasainya.

"Legong Condong masih sangat sulit, harus saya akui, saya belum bisa. Sulit, sulit dan sulit. Sekaligus menguras tenaga," akunya.  

Amandine, di sela sela kesibukan magangnya di Saint Gallen, sesekali kembali ke Jenewa. Di kota yang menjadi markas besar berbagai organisasi Internasional itu, Amandine menjadi guru tari untuk masyarakat Jenewa.

Baca juga: Bosan Jadi Bankir, Pria Kelahiran Indonesia Jualan Sate di Swiss

Apakah dia merasa lelah? "Tentu saja," katanya.  

Namun, semerbak asap dupa dan dua kucingnya, siap menenteramkan hatinya.  Jika sudah demikian, kerinduannya untuk Indonesia, untuk sementara, terobati.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com