BAGAIMANA situasi bisa berubah hanya dalam satu tahun.
Kembali ke 2017, kita teringat lagi tentang “Pax Sinica”, istilah yang mengacu pada stabilitas global yang didorong China, saat Presiden AS Donald Trump seakan menyerahkan peran kepemimpinan global ke Xi Jinping dari China.
Proyek andalannya, Belt and Road Initiative (BRI), diluncurkan dan siap untuk mengokohkan posisinya di dunia.
Namun sepertinya 2018 adalah tahun yang buruk bagi China. Mengapa?
Pertama, BRI telah gagal. Mereka telah menjadi sasaran beragam kritik dan kekonyolan. Di seluruh belahan dunia proyek-proyek yang terkait BRI dinilai terlalu mahal dan tidak sesuai dengan kebutuhan perkembangan negara tujuan.
Baca juga: Sekolah di China Kembangkan Seragam Pintar untuk Awasi Siswanya
Mereka juga dipenuhi oleh korupsi, inkompetensi, dan kepentingan strategis China.
Padahal, kita membayar mahal untuk itu, tapi mereka yang mengambil manfaatnya.
Di Afrika, setelah setahun beroperasi, proyek kereta Nairobi-Mombasa mengakumulasi kerugian besar, karena kargo di rute kritikal ini masih bertumpu di truk dan lori.
Sementara di Sri Lanka, pelabuhan Hambantota nyatanya tidak berguna sampai akhirnya harus diserahkan kepada operator China—ini sebuah contoh memalukan dari debt-trap diplomacy (diplomasi perangkap utang).
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan yang baru terpilih secara tegas mengkritik proyek China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) sebesar 60 miliar dollar AS– sebuah proyek andalan BRI juga.
Selain infrastruktur, tuduhan spionase industri (termasuk yang melibatkan Huawei) juga telah membuat pihak Barat makin curiga dengan korporasi China, terutama dengan BUMN.
Keretakan juga mulai terlihat di perekonomian China dan negara adidaya tersebut terlihat makin lemah. Utangnya meningkat, diestimasi sebesar 3 kali dari PDB-nya, ditambah dengan kelebihan pasokan properti telah menimbulkan kekhawatiran akan sebuah krisis.
Pertumbuhan ekonomi melambat, data awal mengindikasikan beberapa provinsi akan tidak mencapai target PDB tahunannya.
Tekanan deflasioner juga memuncak, disebabkan oleh pelemahan permintaan dari konsumen dan investor domestik – tanda bahwa kepercayaan terhadap pertumbuhan China cepat meredup.
Perbedaan pendapat antar pejabat China juga makin berkembang. Mendekati peringatan 40 tahun reformasi dramatis Deng Xiaoping, banyak pengamat berpendapat bahwa Xi Jinping, meskipun memiliki otot politik, belum dapat dikatakan sebagai pemenang.
Ditambah dengan tekanan brutal Xi kepada kaum etnik Muslim Uyghur di Xinjiang –muncullah gambar sebuah pemimpin yang sedang di tengah pertarungan. Meskipun, sunyinya respons dari pemimpin Muslim di seluruh dunia bisa dilihat sebagai bukti masih tersisanya pengaruh China.
Baca juga: Dituduh Jadi Mata-mata China, CEO Huawei Angkat Bicara