Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

Mekkah dan Madinah Kini “Ijo Royo-royo"

Kompas.com - 24/12/2018, 14:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mereka ini mengenakan jubah hitam, dengan kain putih seperti selendang melilit pinggang, bertopi hitam khusus, dan membawa tongkat. Beda dengan pria Arab umumnya, wajah mereka bersih tanpa kumis atau jenggot.

Konon mereka memang disiapkan orangtuanya sejak kecil, dan untuk itu mereka dikebiri agar tidak memiliki nafsu terhadap lawan jenis, sehingga boleh bersentuhan dengan wanita bukan muhrimnya. Menjelang tahun 1986, pemandangan itu sudah tidak tampak.

Sama juga soal sumur zamzam, yang bisa disaksikan siapa pun yang sedang beribadah di Masjidil Haram, ketika sumur itu masih dalam bentuk asli di bagian bawah di belakang Maqom (tempat berdiri) Ibrahim. Menuruni belasan anak tangga, jemaah bisa melihat satu sumur berdiameter hampir dua meter dengan beberapa pipa masuk ke dalamnya.

Tahun 1975 itu orang hanya bisa minum air zamzam di banyak pancuran kecil dekat sumur, kini air zamzam sudah bisa diambil di drum-drum yang ada di sisi luar pelataran Ka’bah, di sepanjang jalur Sa’i antara Bukit Shawfa dan Marwa dan di luar Mesjidil Haram.

Bahkan air suci itu sudah tersedia pula di Masjid Nabawi di Madinah yang dikirim lewat pipa-pipa besar antara dua kota suci itu.

Air zamzam tersedia setiap waktu. Tidak pernah berhenti mengucur walau jemaah haji membanjir yang jumlahnya sekali berkumpul bisa sampai di atas tiga juta orang. Tetapi di luar musim haji, sumur zamzam juga tidak meluap karena kelebihan pasok.


Baso Mang Udin

Keadaan dekade 1970-an sangat berbeda dengan Arab Saudi setelah 2000. Ketika itu kondisi Saudi masih belum sekaya sekarang, masih belum merasakan gelegar minyak bumi yang dimulai tahun 1976-an.

Tahun-tahun itu penginapan jemaah haji lebih mirip kandang kambing, atau kandang unta dan Jemaah dijejalkan di sana.

Jemaah haji Indonesia zaman itu selalu dibekali sekarung perlengkapan yang isinya antara lain kasur lipat, berbagai makanan kaleng dan beras serta bumbu-bumbu, selain uang biaya hidup 1.500 riyal. Banyak jemaah yang sengaja membawa cobek untuk membuat sambal, juga kompor, panci dan sebagainya.

Saat menunggu kepulangan di bandara Jeddah yang saat itu letaknya masih di tengah kota, banyak orang baduy Arab yang berpakaian sarung menutup lutut, berjubah dan bersorban, datang dan membeli kasur-kasur bekas jemaah. Lumayan laku antara 5 riyal sampai 10 riyal, dan pemandangan seperti itu sudah tidak terlihat lagi sejak penghujung abad ke-20.

Hingga menjelang tahun 2000-an, jemaah haji Iran paling mudah dikenali. Kaum ibunya selain muka dan tangannya dihias tato, juga selalu membawa batu setelapak tangan untuk alas sujud mereka. Karena jemaah haji lelaki tidak boleh menggunakan penutup kepala, perjalanan antara Madinah dan Mekkah pun mereka hanya mau naik bus tanpa atap.

Kini jemaah Iran selalu diperiksa di tiap pintu masjid dan jika kedapatan membawa batu, petugas akan membuangnya karena dianggap menyalahi aturan agama. Pemerintah Saudi pun sudah tidak menyediakan lagi bus-bus tanpa atap, dan jemaah haji Iran juga tidak mampu protes.

Dulu jemaah Indonesia paling suka berbelanja macam-macam ke Pasar Seng di dekat Bukit Marwa, yang nama sebenarnya Souk el Lail, pasar malam hari. Disebut pasar seng karena atap bangunan pasar yang selalu penuh sesak itu memang berupa seng.

Kini pasar seng sudah musnah, digusur untuk pelebaran halaman Masjidil Haram, juga Baso Mang Udin yang terkenal di ujung depan pasar seng. Pemerintah Saudi juga memberi kemudahan dengan membangun jalur kereta api cepat antara Madinah dan Mekkah, terus ke Padang Arafah.

Jalur kereta api pernah dimiliki Kerajaan Saudi sebelum ditutup tahun 1960-an. Di tahun 1975 masih ada sisa-sisa depo lokomotif kereta uap di Madinah.

Lama perjalanan darat antara dua kota itu tahun 1975 sekitar delapan jam, tahun 80-an belum berkurang, tahun 2010 tinggal lima jam. Kini dengan kereta api jarak 486 kilometer itu bisa ditempuh dalam tiga jam.

Bagi banyak jemaah, rangkaian ibadah wukuf, thawaf, sa’i dan perjalanan darat ratusan kilometer terasa ringan saja. “Yang berat itu oleh-olehnya,” kata Ny Ratnasari, seorang jemaah umroh.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com