Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eva Christiane von Reumont, Perempuan Jerman Pemburu Wayang Kulit

Kompas.com - 07/12/2018, 19:10 WIB
Ervan Hardoko

Editor

KOMPAS.com - Wayang kulit sudah diakui sebagai salah satu budaya warisan dunia UNESCO sejak 2003. Meski demikian masih banyak hal yang bisa digali dari kesenian tradisional ini.

Salah seorang yang amat tertarik mendalami wayang kulit adalah Eva Christiane von Reumont, seorang perempuan asal Jerman.

Siapa sosok perempuan ini? Jurnalis Indonesia yang bermukim di Swiss Krisna Diantha menceritakan sosok luar biasa ini untuk Kompas.com.

Setelah menyelesaikan studi masternya tentang restorasi wayang kulit, Eva Christiane von Reumont, justru makin tenggelam dalam dunia pewayangan.

Baca juga: Tjakrabirawa, Paspampres Generasi Pertama dari Kisah Wayang Kulit

Di tengah kesibukannya menyelesaikan program doktoral di bidang yang sama, Eva kini rajin blusukan di berbagai museum di Swiss.

Hasilnya cukup mengejutkan. Perempuan kelahiran Jerman ini menemukan koleksi wayang kulit yang usianya sudah ratusan tahun. 

Tak hanya wayang kuno, namun juga koleksi lengkap satu set pewayangan yang belum  pernah dipamerkan ke publik.

Kompas.com diundang Eva untuk menyaksikan bagaimana wayang-wayang kulit bernilai tinggi itu, dirawat dengan tekun di sebuah museum di Zurich.

Jika tak ada aral melintang, Eva bersama museum Rietberg Zurich, akan memamerkan wayang-wayang tersebut kepada publik.

Nama, Gatotkaca, Sengkuni, Semar, hingga  Hanoman, mungkin sudah dikenal di luar kepala para penggemar wayang di Indonesia.

Namun nama Mala Raja, barangkali masih sangat asing bangkan di telinga penikmat wayang kulit.

Namun, tidak demikian bagi Eva Christiane von Reumont yang tanpa banyak kesulitan, bisa menjelaskan karakter Mala Raja.

"Aslinya (dia) anak Balasara, yang dilahirkan seekor ikan,“ papar Eva, ketika ditemui di museum Rietberg, Zurich, Swiss, belum lama ini.

Baca juga: Kisah Dalang Wayang Kulit Tunanetra yang Tampil di Depan Obama

Eva menemukan rincian tokoh Mala Raja, atas catatan A de Guemenee, di Volkerkunde Museum Zurich, Swiss.

Namanya juga dunia pewayangan, lanjut Eva, ikan tersebut tanpa sengaja menelan sperma Balasara yang hanyut di sungai Gangga, India. Ikan itu kemudian hamil dan lahirlah Mala Raja.

Eva Christiane von Reumont memang bukan warga Jerman biasa. Setelah menyelesaikan Masternya di Universitas Hochschule der Kuenste Bern, kini dia melanjutkan program doktornya, di tempat yang sama.

Bedanya, Eva makin mendalami dunia pewayangan. Salah satunya, hingga mengenal Mala Raja, tokoh yang jauh dari hingar bingar kisah Mahabarata atau Ramayana.

Keluar masuk museum adalah kegiatan sehari-harinya. Hingga kini, Eva sudah blusukan di 30 museum di seluruh dunia. Salah satunya Museum Rietberg, Zurich.

Baca juga: Sambut HUT RI, Wayang Kulit Kibarkan Bendera Merah Putih

"Saya sedang menyiapkan pameran wayang kulit di museum ini,“ katanya.

Sayangnya, koleksi wayang kulit di Museum Rietberg, tidak mencukupi untuk menggelar sebuah pameran wayang secara lengkap. "Hanya ada 60-an koleksi wayang di sini," katanya.

Meskipun hanya 60-an, wayang-wayang kulit yang berada di museum ini sudah berusia ratusan tahun.

Cat yang melapisi wayang itu sudah memudar bahkan mengelupas. Bulu sapi yang digunakan sebagai rambut Semar juga sudah rontok. Hanya karena dibuat dari kulit, termasuk japitnya, koleksi ini masih akan bertahan lama.

Bahkan, bisa jadi, akan bertahan sangat lama, karena Eva kini dipercaya mengurusnya. Arjuna, Dewi Kunti, Krisna, hingga Semar, yang semula tergeletak tak beraturan di dalam kardus kini mulai mendapatkan sentuhan Eva.

"Di Indonesia, terlalu lembab. Di sini justru terlalu kering,“ katanya.

Dengan amat hati-hati, Eva membungkus wayang berusia ratusan tahun itu dengan semacam kertas roti.

Antara tangan dan tubuh, mendapatkan bungkus tersendiri. Pita sutera juga mengikatnya dengan lembut, namun terukur.

Tokoh Gajah Mina, yang ditemukan di Museum Etnologi Berlin, kakinya patah tetapi kini sudah disambung kembali. Beberapa bagian catnya yang mulai mengelupas kini dilapisi funori.

Baca juga: Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (5)

"Sejenis ganggang, sangat cocok untuk melindungi warna wayang,“ kata Eva.

"Indah sekali bukan,“ katanya sambil menatap Sengkuni.

Di Eropa, katanya, wayang-wayang memang tersimpan tetapi tidak tersusun rapi. Tumpang tindih tanpa tahu urutan hirarkinya.

"Intinya, terjaga tapi tidak ada yang mengurusnya," tambah dia.

Dari Museum Rietberg, Eva meloncat ke Museum Volkerkunde, juga di Zurich. Matanya bercahaya ketika menemukan harta karun lainnya. Di Museum Volkerkunde, Eva dipercaya mengurus koleksi wayang kulit yang cukup lengkap.

Baca juga: Koleksi Wayang Kulit Tiongkok-Jawa Mencapai 400 Lembar

"Inilah yang saya cari, wayangan lengkap,“ katanya mengomentari koleksi yang juga berusia ratusan tahun. 

"Koleksi wayang kulit di sini hanya tersimpan di gudang. Sekalipun tak pernah ditunjukkan ke publik,“ imbuh Eva.

Dari catatan yang ada, koleksi lengkap wayang kulit di museum Volkerkunde ini, dibuat di Probolinggo pada 1870, saat Indonesia masih dikuasai Belanda.

Beberapa museum di Swiss lainnya, antara lain Basel, juga memiliki koleksi wayang kulit. Cuma, tak ada yang selengkap koleksi Museum Volkerkunde Zurich.

Pernah ditemukan koleksi pribadi dari Saint Gallen, Swiss Timur.  Walter Angst, sang kolektor, memiliki sedikitnya 20.000 tokoh wayang kulit.

Sayang, kata Eva, setelah Walter Angst meninggal dunia, puluhan ribu wayang kulit itu menjadi milik Yale University Art and Galery.

Meskipun tipis harapan untuk bisa memamerkannya di Swiss, lanjut Eva, dia akan  menyempatkan diri untuk melihat koleksi Walter Angst itu hingga ke Amerika Serikat.

Indonesia, tentu saja, juga akan kembali dikunjunginya. Di sinilah, sesuai tesisnya yang berjudul Applying Western Conservation Ethics onto Javanese Wayang Kulit Puppet, wayang kulit masih ditata rapi, sekaligus dimainkan secara langsung.

"Indah sekali, kalian punya warisan kultural yang sangat berharga,“ kata Eva.

Eva Christiane von Reumont tertarik pada wayang kulit pertama kali saat berkunjung ke Museum Etnologi di Berlin, Jerman enam tahun silam.

Keindahan wayang kulit itu menancap di hatinya, sekaligus mengantarkannya menjadi master di Universitas Bern.

Kini sudah 30-an museum dikunjunginya. Antara lain museum di  Jerman, Swiss, Belanda, Austria, Belgia, Ceko hingga Denmark.

Baca juga: Sstt... Ada Wayang Kulit Kuno di Museum Taiwan

Bukan tidak mungkin, Eva akan menjadi perempuan pertama di Eropa yang bergelar profesor untuk urusan wayang kulit.

"Ah, itu impian yang masih jauh. Sekarang saya konsentrasi untuk doktor dan pameran ini dulu,“ katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com