KOMPAS - Saat Perang Dingin pecah pada akhir 1940-an, Uni Soviet menjadi pesaing berat bagi Amerika Serikat untuk menjadi negara nomor satu di dunia.
Pihak Moskwa tidak main-main dalam mengeluarkan biaya dan memberi bantuan militer atau persenjataan demi membantu negara sosialis yang ingin memproklamasikan diri.
Uni Soviet memberikan bantuan ke beberapa negara berkembang untuk membentuk sekutu. Hal ini untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Uni Soviet memiliki pengaruh yang besar.
Namun, hal ini malah menjadikan Uni Soviet terlalu melakukan pemborosan.
Dilansir dari Russian Beyond The Headline, terdapat lima negara yang mendapat bantuan Uni Soviet setelah menganut sosialisme, apa saja?
Negara ini cukup tak terdengar sejak jatuhnya Kekaisaran Genghis Khan pada Abad Pertengahan. Mongolia tercatat sebagai sekutu setia Uni Soviet sejak 1920-an hingga kejatuhannya.
Pasukan Mongolia bertempur melawan Jepang bersama Beruang Merah selama Perang Dunia II. Bahkan, pada 1956 Mongolia meminta untuk menjadi bagian dari Uni Soviet, tetapi Moskwa menolak tawaran itu.
Bagaimanapun juga, jumlah utang yang diberikan Uni Soviet kepada Mongolia berkisar 11,4 miliar dollar AS. Akan tetapi, negara yang tidak begitu makmur di Asia Timur ini tak mampu mengembalikan uang itu.
Pada 2003, Rusia mengeluarkan 11,1 miliar dollar AS. Mongolia akhirnya membayar 300 juta dollar AS dan kemudian Rusia menghapuskan sedikit utangnya.
Negara dengan ibu kota Havana ini menjadi yang paling banyak dari segi jumlah utang kepada Rusia. Pada 2014, Vladimir Putin menghapus 31,5 miliar dollar AS utang Kuba atau 90 persen. Sementara, keseluruhan utangnya berjumlah lebih dari 35 miliar dolar AS.
Namun, menurut Uni Soviet saat itu, benteng sosialisme di belahan barat terlalu penting ketimbang utang.
Moskwa memberikan pinjaman kepada Kuba untuk membantu meningkatkan sistem pendidikan dan kesehatan, persediaan minyak, makanan, dan peralatan teknis.
Sebagai imbalan, Kuba memasok gula tebu dalam jumlah besar ke Uni Soviet, yang terpenting adalah Sosialisme Komunis tetap sejalan.
Kuba mengirim pasukannya untuk bertempur sebagai relawan dalam konflik di Angola atau Ethiopia, dengan selalu mendukung pihak pro-Soviet.
Suriah yang dibicarakan adalah pada era Perang Dingin, saat dipimpin Hafez al-Assad, ayah dari Presiden Suriah saat ini Bashar al-Assad.