Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Damar Juniarto
Praktisi Demokrasi Digital

Executive Director SAFEnet, alumni IVLP 2018 Cyber Policy and Freedom of Expression Online, pendiri Forum Demokrasi Digital, dan penerima penghargaan YNW Marketeers Netizen Award 2018.

Pelajaran Pahit soal Demokrasi dari Amerika

Kompas.com - 19/10/2018, 17:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Siapa yang menggerusnya dari dalam? Tak lain dari presidennya sendiri, Donald Trump dan tribal politik yang mendukungnya.

Tidak sulit bagi saya untuk memahami, Amerika saat ini sedang dilanda kegamangan luar biasa pada amandemen pertama dari konstitusi yang ditulis oleh para founding fathers negara ini.

Dalam amandemen itu dijamin kebebasan berkumpul, berpendapat dan perlindungan privasi warga, tetapi ketiganya seperti tengah mendapat cobaan luar biasa dari para elit politik yang memamerkan perilaku yang menodai makda demokrasi itu sendiri.

Majalah The Atlantic menurunkan edisi khusus bulan Oktober 2018 dengan tajuk “Is Democracy Dying?” dengan menunjukkan banyak cacat cela, mulai dari pemilu yang direcoki oleh peran Rusia untuk memengaruhi pilihan politik pada pilpres sebelumnya, tribalisme politik yang memecah belah bangsa Amerika, hingga kualitas demokrasi yang merosot di era Trump ditandai dengan politik identitas.

Di luar politik, semisal pada isu netralitas jaringan yang kerap dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan kami dengan instansi dan organisasi seperti Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade Comission/FTC) dan Komisi Komunikasi Federal (Federal Communication Commision/FCC) sebetulnya memberi petunjuk jelas bagi saya bagaimana perlindungan privasi konsumen di Amerika sebenarnya didikte oleh perusahaan-perusahaan teknologi dan media.

Ketika para konsumen berteriak keras dan akhirnya didengar pada tahuh 2015 oleh FCC, itupun setelah Obama sebagai presiden memerintahkan FCC untuk segera memutuskan soal tidak boleh adanya pembatasan konten pada jaringan komunikasi atas dasar monopoli, kita melihat lambatnya negara hadir bagi publik. Tetapi berganti rezim, berganti pula kebijakannya.

Malahan ketika pembuat kebijakan di negara bagian California telah berupaya keras untuk melindungi warganya dari praktik pelanggaran privasi berupa pengambilan data konsumen online, negara bagian itu malahan dituntut oleh Jaksa Agung Federal karena dianggap membuat peraturan yang melampaui kewenangan negara bagian.

Ada sinyalemen bahwa di balik tuntutan Jaksa Agung Federal itu berdiri dua perusahaan media paling bergengsi di Amerika Serikat. Itu berarti, negara yang seharusnya berdiri untuk publik, justru takluk didikte oleh korporasi. Pelajaran kedua yang membuat saya geleng-geleng kepala.

Bahkan ketika ada desakan agar perusahaan-perusahaan media sosial menjadi “polisi konten” yang bertugas memblokir, menutup akun, melakukan take down, atas desakan politik dan kekuatan modal, mereka yang bersuara menentang bisa dihitung dengan jari.

Saya menaruh respek pada organisasi-organisasi masyarakat sipil yang masih mau berjuang di Amerika ini, meskipun menurut penilaian saya pribadi, sepertinya masyarakat Amerika sedang defisit pejuang hak-hak kebebasan berpendapat, berkumpul dan privasi.

Bagi saya, kejayaan demokrasi Amerika terbukti tak lebih baik dari film Rambo yang diperankan Silvester Stallone. Itu pelajaran ketiga yang saya dapatkan.

Tentu semua pelajaran itu tak melulu buruk. Saya melihat dalam kacamata reflektif dan menjadikan pelajaran-pelajaran ini sebagai palang-palang penanda yang tidak boleh terjadi di Indonesia. Indonesia harus belajar, jangan sampai menjadi seperti Amerika sekarang ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com