Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Warga Jepang Dijanjikan "Surga" jika Tinggal di Korea Utara

Kompas.com - 01/10/2018, 14:13 WIB
Veronika Yasinta

Penulis

OSAKA, KOMPAS.com - Sekelompok warga menuntut pemerintah Korea Utara di pengadilan Jepang karena merasa dibohongi. Pasalnya, mereka dijanjikan kehidupan yang lebih baik jika pindah ke Korea Utara.

Melansir Washington Post pada Minggu (30/8/2018), salah satu dari warga Jepang yang terlena dengan janji-janji surga Korea Utara adalah Hiroko Sakakibara. Dia masih sangat kecil ketika agen Korea Utara mendatangi rumah ayahnya.

Agen itu menjamin seluruh kehidupannya kelak di negara Semenanjung Korea, termasuk berbagai kebutuhan seperti pekerjaan, rumah, pakaian, dan layanan kesehatan.

"Saya masih sangat kecil jadi saya tidak bisa bergabung dalam pembicaraan mereka, tapi saya mendengar apa yang mereka katakan," ucapnya.

Baca juga: Sejak Kim Jong Un Berkuasa, Jumlah Pembelot Korea Utara Menurun

"Ayah saya bilang, 'ayo, ayo'," katanya,

Secara keseluruhan, lebih dari 93.000, kebanyakan etnis Korea yang kewarganegaraan Jepangnya dicopot setelah Perang Dunia II, meninggalkan Jepang antara 1959-1984.

Mereka terbuai dengan janji kehidupan baru yang lebih baik di Korea Utara, selama Perang Dingin.

Etnis Korea di Jepang dikenal sebagai Zainichi. Mereka bergabung dengan ribuan pasangan dan anak-anak Jepang lainnya menuju Korea Utara.

Foto ini diambi pada 30 November 2016 menunjukkan orang-orang menjual buah dan sayur di jalan Kaesong, Korea Utara. (AFP/Ed Jones) Foto ini diambi pada 30 November 2016 menunjukkan orang-orang menjual buah dan sayur di jalan Kaesong, Korea Utara. (AFP/Ed Jones)
Bukannya mendapat apa yang telah dijanjikan, mereka justru mengalami diskriminasi, kemiskinan, dan tak diberi kebebasan.

Baca juga: Trump Senang Korea Utara Tak Pamer Rudal Balistik di Parade Militer

Sakakibara ingat bagaimana orangtuanya yang merupakan etnis Korea kesulitan dalam menjalani kehidupan di Korea Utara, setelah sampai ke sana pada Mei 1961.

Dengan menumpang kapal Soviet, dia dan keluarganya berlabuh di pelabuhan Chongjin. Ketika berada di kapal, keraguan menyelimuti mereka.

"Makanannya benar-benar buruk, dan apelnya sangat layu," katanya.

Sampai tujuan, mereka disambut oleh dermaha yang dipenuhi orang-orang lusuh, kurang gizi, dan semua orang dewasa mengenakan pakaian abu-abu gelap.

Beberapa anak-anak bahkan tidak mengenakan sepatu atau bahkan celana panjang.

"Mengapa itu sangat berbeda dari apa yang saya bayangkan?" Sakakibara ingat bertanya pada dirinya yang kala itu berusia 11 tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com