Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biografi Tokoh Dunia: Ruhollah Khomeini, Pemimpin Revolusi Iran

Kompas.com - 24/09/2018, 22:31 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Ruhollah Khomeini merupakan seorang politisi sekaligus ulama Syiah yang menjadi pendiri Republik Islam Iran.

Dia memimpin Revolusi Iran di 1979 yang menggulingkan Shah (Raja) terakhir Iran, Mohammad Reza Pahlavi, dan mengakhiri 2.500 Kekaisaran Persia.

Dia menjabat sebagai Pemimpin Tertinggi Iran hingga meninggal di 1989, dan posisinya digantikan sebagai Ayatollah Ali Khamenei.

Dilansir dari berbagai sumber, berikut merupakan biografi dari tokoh yang mendapat penghargaaan dari majalah Amerika Serikat (AS) TIME.

Baca juga: Iran Tuding Arab Saudi dan UEA Biayai Serangan Parade Militer

1. Masa Kecil

Ruhollah Musavi Khomeini, yang berarti Roh Tuhan, lahir pada 24 September 1902 di Khomeyn, Provinsi Markazi. Pada usia lima bulan, ayah Khomeini, Seyyed Mostafa Hendi, terbunuh.

Di usia enam tahun, dia mempelajari Al Quran dan bahasa Persia. Dia dikenal sebagai anak yang bersemangat, kuat, dan bagus di olahraga.

Dia juga mempunyai ingatan bagus dalam memahami baik pelajaran agama maupun puisi, serta mendapat nilai bagus selama masa belajarnya di maktab lokal.

Karena prestasi Khamenei, oleh sang kakak Mortaza, dia dikirim ke sebuah seminari di Arak pada bimbingan Ayatollah Abdul Karim Haeri Yazdi di 1920.

Tahun berikutnya, Khomeini mengikuti Haeri Yazdi yang ditempatkan di kota Qom. Dia mempelajari hukum syariah dan ilmu fiqih.

Dia juga mempelajari Filsafat Yunani, di mana dia sangat terkesan dengan Aristotle yang disebutnya sebagai Bapak Logika dan Plato.

Selain menimba ilmu, dia juga mengajar sekolah Qom dan Najaf dengan fokus kepada filsafat politik, sejarah Islam, dan etika.

Baca juga: Parade Militernya Diserang, Militer Iran Bersumpah Balas Dendam

2. Awal Aktivitas di Politik

Selama menjadi guru, Khomeini selalu menekankan pengajarannya tentang pentingnya agama dalam isu-isu sosial dan politik, dan menentang sekulerisme.

Di 1962, dia menggalang ulama lainnya, dan memulai protes menentang rencana Shah memberlakukan pelantikan pejabat tanpa disumpah menggunakan Al Quran.

Di Januari 1963, Shah Pahlavi memulai program Revolusi Putih berisi reformasi tanah, privatisasi perusahaan negara, maupun pergantian sistem pemilihan umum.

Khomeini menggelar pertemuan dengan para pemimpin Qom, dan meyakinkan mereka melaksanakan boikot referendum kebijakan tersebut.

Di 22 Januari 1963, dia mendeklarasikan kecaman kepada Shah dan rencananya. Dua hari kemudian, Shah membalas dengan pidato yang menyerang para ulama.

Khomeini terus menggelorakan aksi melawan Shah Pahlavi. 3 Juni 1963, dalam pidatonya di berkata jika Pahlavi tak mengubah kebijakannya, rakyat Iran bakal senang melihatnya pergi.

Ucapannya itu membuatnya ditangkap pada 5 Juni 1964 di Qom, dan dibawa menuju ibu kota Teheran. Penangkapannya memunculkan gelombang protes dan kerusuhan.

Peristiwa yang dikenal sebagai Pergerakan 15 Khordad (sesuai kalender Hijriah), dan menelan korban tewas sekitar 400 orang. Khomeini baru dibebaskan di Agustus 1963.

26 Oktober 1964, Khomeini kembali mengkritik Pahlavi dan AS atas kebijakan "kapitulasi", atau pemberian imunitas diplomatik bagi militer AS yang masuk ke sana.

Dia ditangkap di November 1964, dan menjalani hukuman penjara selama enam bulan. Saat dibebaskan, dia dibawa ke hadapan Perdana Menteri Hasan Ali Mansur.

Sang PM mencoba meyakinkan Khomeini bahwa dia harus menyampaikan permintaan maaf, dan memintanya bergabung ke sisi pemerintah.

Ketika dia menolak, Mansur yang sangat marah menampar wajahnya. Dua bulan berselang, Mansur dibunuh tatkala berjalan menuju gedung parlemen.

Baca juga: Pemimpin Tertinggi Iran: Kami Siap Tinggalkan Kesepakatan Nuklir

 

3. Hidup di Pengasingan dan Revolusi Iran

Khomeini awalnya diasingkan ke Turki. Namun, karena hukum Turki melarang pemakaian pakaian tradisional ulama Syiah, dia pindah ke Najaf, Irak, di September 1965.

Selama 14 tahun di pengasingan, Khomeini mengembangkan sebuah teori tentang bagaimana negara bisa dibentuk berdasarkan prinsip Islam.

Berbagai metodenya membuat Khomeini diterima sebagai pimpinan oposisi. Dia mendukung berbagai aksi demonstrasi yang terjadi sepanjang 1975-1978.

Baca juga: Pemimpin Tertinggi Iran: Tidak Ada Perang atau Negosiasi dengan AS

Langkah itu mulai dilihat Shah. Segera setelahnya, Khomeini didatangi pasukan Irak. Dia mendapat dua pilihan: menanggalkan aktivitas politiknya atau pergi dari Iran.

Dia memilih opsi kedua, dan bertolak menuju Paris, Perancis. Di sana dia meminta rakyat Iran terus menentang rezim Pahlavi.

Puncak dari ajakan itu adalah Revolusi Iran yang dimulai dengan peristiwa Black Friday di mana pasukan kerjaan menewaskan 89 orang ketika bentrok dengan demonstran.

D1 17 Januari 1979, dengan alasan liburan Pahlavi meninggalkan Iran. Dua pekan berselang di 1 Februari 1979, dia kembali ke Iran, dan menurut BBC, disambut lima juta orang.

Di 30-31 Maret 1979, sebuah referendum mengesahkan penghapusan monarki menjadi Republik Islam dengan meraup 98 persen suara.

Di November 1979, Iran mengesahkan konstitusi republiknya dalam sebuah referendum, dengan mengangkat Khomeini sebagai Pemimpin Tertinggi dengan nama resmi Pemimpin Revolusi.

4. Insiden Penyanderaan Staf AS

22 Oktober 1979, AS mengizinkan Shah memasuki negerinya guna melakukan pengobatan kanker limfatik yang sudah dia derita.

Situasi itu memunculkan protes dari Khomeini yang menginginkan Shah dideportasi ke Iran agar dia bisa segera diadili dan dieksekusi.

Di 4 November 1979, sekelompok mahasiswa Iran menyerang Kedutaan Besar AS di Teheran, dan menawan 52 staf selama 444 hari yang dikenal sebagai Krisis Sandera Iran.

Aksi itu menjadi popular, dan rakyat mendukung Khomeini di bawah slogan "AS Tak Bakal Bisa Melakukan Apapun kepada Kita".

Bagi Khomeini, penyanderaan itu membantunya memantapkan pemerintahannya serta menormalkan dan menstabilkan hubungan dengan negara lain.

Drama itu berakhir di 20 Januari 1981 dengan hasil para sandera dibebaskan berdasarkan Perjanjian Aljir. Peristiwa itu menewaskan delapan tentara AS yang mencoba menyelamatkan staf.

Baca juga: Pemimpin Tertinggi Iran Sebut Trump Makanan Cacing

 

5. Fatwa Rushdie

Di awal 1989, Khomeini mengeluarkan fatwa berisi perintah membunuh Salman Rushdie, seorang penulis Inggris kelahiran India.

Fatwa itu dikeluarkan setelah Rushdie menerbitkan buku berjudul The Satanic Verses yang dianggap merupakan bentuk pelecehan agama.

Fatwa itu tak hanya eksekusi Rushdie. Namun juga semua orang yang terlibat dalam proses penerbitan buku tersebut, dan membuat Khomeini dikecam negara Barat.

Baca juga: Pemimpin Tertinggi Iran Berhenti Gunakan Aplikasi Telegram

Meski Rushdie mengaku menyesal telah menerbitkan buku itu sehingga membuatnya menerima gelombang kemarahan, fatwa tersebut tak dicabut.

Rushdie tak terbunuh oleh fatwa tersebut. Adalah Hitoshi Igarashi, seorang penerjemah buku Satanic Verses yang tewas dibunuh.

6. Kematian

Khomeini meninggal dunia pada 3 Juni 1989 dalam usia 86 tahun setelah menderita lima serangan jantung dalam waktu 10 hari.

Upacara pertama pemakaman Khomeini di Paradise of Zahra mengalami penundaan setelah para pelayat berhamburan masuk, dan sempat menghancurkan peti matinya.

Upacara kembali digelar lima jam kemudian, dengan peti Khomeini dibuat dari besi. Kini, makamnya menjadi kompleks mausoleum.

Baca juga: Iran Tuding Negara Arab Sekutu AS Terkait Serangan Parade Militer

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com