Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Miris Wanita Indonesia yang "Dijual" dan Dinikahkan di China (2)

Kompas.com - 19/09/2018, 16:13 WIB
Ervan Hardoko

Editor

KOMPAS.com - Di bagian pertama dipaparkan nasib LL dan Marisa dua perempuan Indonesia yang kini berada di China dan menikahi pria negeri itu.

Kedua perempuan itu termakan iming-iming kekayaan dan kehidupan nyaman sehingga rela meninggalkan kampung halaman dan pindah ke Negeri Tirai Bambu.

Sayangnya, kedua perempuan ini tertipu. Mereka kini hidup menderita dan sangat menginginkan bisa pulang kembali ke Tanah Air.

Marisa dan LL adalah dua dari 11 orang perempuan yang mengaku menjadi korban perdagangan orang dengan modus perjodohan di China.

Sejatinya para perempuan ini berjumlah 12 orang, namun seorang perempuan berinisial Y berhasil kabur saat masih ditampung di sebuah apartemen di Jakarta, sebelum diberangkatkan ke China. Tiga dari 12 perempuan itu masih di bawah umur.

Baca juga: Washington: China Pelaku Perdagangan Manusia Terburuk di Dunia

Direktur Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Polisi Umar Surya Fana, mengatakan para tersangka pelaku sengaja melakukan "growing process".

"Trafficker meninggalkan sejumlah uang dalam konteks utang atau dalam konteks janji awal. 'Ini sepuluh juta dulu yah, nanti sisanya dikasih tiap bulan'. Ini bagian dari growing process," kata Umar.

Yang dialami ke-11 perempuan tersebut juga bisa dikategorikan sebagai tindak perdagangan orang lantaran "ada pihak ketiga yang mendapatkan keuntungan ekonomi".

"Makanya dibilang trafficking, tindak pidana perdagangan orang, si pedagangnya yang kena. Vivi ini terima duit, dan dua orang lainnya terima duit. Itu ciri trafficking," paparnya.

Pengakuan LL dan Marissa mengenai iming-iming suami yang tidak ditepati, tambah Umar, termasuk unsur pidana trafficking.

"Kalau rangkaian kata-kata bohong, itu sudah masuk dalam koridor penipuan. Penipuan dalam tindak pidana perdagangan orang itu masuk dalam salah satu delik unsur pidananya."

Kombes Umar menambahkan, sebelum menikahi 11 perempuan Indonesia, para pria dari China itu memiliki kriteria tertentu perempuan yang ingin mereka nikahi.

Semua kriteria itu kemudian mereka sampaikan kepada para perantara di Indonesia.

"Konsumen di sana punya kriteria tertentu, misalnya rambutnya harus panjang, harus ini, segala macam. Tapi ketika datang tidak sesuai dengan kriteria dia. Karena dia sudah punya kontrak, dikawin dulu, habis dikawin dijual lagi ke laki-laki yang lain. Itu apa bukan perdagangan orang?" paparnya.

Sebelum berangkat ke China, orangtua ke-11 perempuan tersebut telah menandatangani perjanjian. Hal ini mengindikasikan para perempuan dan keluarga mereka telah memahami konsekuensinya.

Namun, Umar berkilah bahwa penandatanganan perjanjian itu adalah bagian dari modus operandi para tersangka.

"Itu yang tadi saya bilang growing process tadi, itulah bagian dari unsur pidana," tegasnya.

Berbicara soal prosedur pernikahan, Umar menyebut para suami ke-11 perempuan Indonesia tersebut menggunakan cara-cara yang tidak diatur undang-undang formal.

Baca juga: Terlibat Kasus Perdagangan Manusia, Kepala Desa di NTT Ditangkap Polisi

"Mengajukan visa harus mendapat undangan dari pihak suami yang akan menikahi dia. Yang kedua, visanya berlaku tiga tahun karena memang visa nikah."

"Yang ketiga, pada saat sampai, di negara tujuan, dia musti dapat verifikasi, rekomendasi dan terdaftar dalam kedutaan kita. Yang keempat, pada saat menikah, dari kedutaan kita atau yang ditunjuk, itu harus hadir. Nah empat hal ini tidak terpenuhi," sebut Umar.

Tidak mudah melepaskan

Pemerintah Indonesia kini berusaha memulangkan kesebelas perempuan itu tetapi memulangkan mereka bukan hal gampang.

Irfan Arifian, kuasa hukum ke-11 perempuan itu mengatakan, saat kasus ini dilaporkan ke kepolisian setempat, mereka tidak bisa membantu lantaran pernikahan kesebelas perempuan itu dan para suaminya telah tercatat secara resmi.

"KBRI membuktikan ada pelanggaran visa, ada manipulasi data soal paspor, dan tidak ada catatan pengantar dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Indonesia. Mereka masuk ke China ini liar, tidak terdaftar di KBRI. Tapi polisi setempat ini, mereka bilang hanya melihat ada buku nikah," ujar Irfan.

Baca juga: Menguak Cerita 6 TKW, Korban Perdagangan Manusia Asal NTB

"Buku nikah itulah yang menurut polisi setempat, resmi. Jadi mereka tidak melihat prosesnya," tutur Irfan.

Laporan soal kekerasan dalam rumah tangga yang diklaim korban pun dianggap angin lalu. Irfan mengungkapkan, KBRI telah menunjukkan foto-foto luka yang dialami korban kepada kepolisian China, tapi dianggap tidak relevan.

"Mereka bilang itu masa lampau, tidak bisa difaktakan saat ini. Kalau terjadi kekerasan segera visum. Bagaimana mereka mau ke rumah sakit, ke polisi, sementara mereka benar-benar disekap di dalam rumah itu oleh keluarga suaminya. Kalau mereka mau kabur, paspornya ditahan, mereka juga ada CCTV banyak, sulit mereka bergeraknya," ungkap Irfan.

Irfan menambahkan, perdagangan orang menggunakan modus pernikahan memang paling sulit untuk ditangani.

"Suami akan mempertahankan karena dia sudah keluar sejumlah uang pada agensi. Jadi tidak mudah melepaskan begitu saja," kata Irfan.

Irfan menambahkan, pihak suami rata-rata merogoh kocek hingga Rp 200 juta untuk membeli perempuan Indonesia melalui agensi.

Namun, Irfan mengatakan, pihaknya bersama Kementerian Luar Negeri akan terus memperjuangkan kepulangan para perempuan itu.

Sejauh ini, satu-satunya peluang memulangkan ke-11 perempuan adalah ketika proses persidangan kasus ini memiliki kekuatan hukum tetap.

"Surat nikah resmi itu bisa dibatalkan lewat permintaan polisi China, setelah perkara WNA (pelaku kasus perdagangan orang) yang disidangkan di Indonesia, sudah berkeputusan hukum tetap. (Baru) dia mau memulangkan," katanya.

Hanya saja, menunggu persidangan selesai dan berkekuatan hukum tetap bukan waktu yang singkat. Terlebih lagi buat ke-11 perempuan tersebut.

Irfan memperkirakan sidang selesai empat hingga lima bulan ke depan. Ia khawatir, korban tidak bisa menunggu.

Baca juga: Jenderal Thailand Dinyatakan Bersalah dalam Kasus Perdagangan Manusia

Apalagi,tiga dari 11 korban dalam keadaan hamil dengan umur kehamilan antara lima hingga tujuh bulan.

"Itu yang kita khawatirkan, mereka depresi, ada yang mau bunuh diri. Apalagi kalau sudah hamil begini," ungkap Irfan.

Tiga tersangka ditahan

Kasus perdagangan orang dengan modus perjodohan ini mulai diusut Polda Jabar setelah dilaporkan Irfan, sebagai kuasa hukum 11 perempuan, pada 27 Juni 2018.

Lima hari setelah itu, polisi menangkap tiga orang tersangka dalam sebuah aksi penggerebekan.

Mereka adalah Vivi yang berperan sebagai perekrut perempuan di Indonesia, AKI seorang warga negara asing yang berperan sebagai perantara pria China, dan YH alias A berperan membantu merekrut perempuan di Indonesia.

Baca juga: Kasus Perdagangan Manusia, Kejagung Ekstradisi Warga Afghanistan ke Australia

Polisi masih memburu satu orang tersangka lagi yaitu TMK alias A yang masih buron.

Direktur Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Umar Surya Fana menyatakan, berkas-berkas perkara sudah diserahkan ke Kejaksaan dan menunggu persidangan.

Kepolisian menjerat para pelaku dengan 11 UU RI Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang.

Jika terbukti para tersangka terancam hukuman pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 600 juta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com