Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Evolusi Musik Molam di Tengah Pusaran Politik Thailand

Kompas.com - 14/08/2018, 19:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

“Sesaat ku mendengar suaramu, sayangku... Hatiku luluh dan menjadi lemah”
“Oh! Lihat dirimu!”
“Wajahmu, bagaikan dilukis para dewa.”

MUSIK Molam memiliki jiwa. Iramanya menghentak, meski lagunya mendayu-dayu bicara soal cinta. Namun perlahan tenggelam di hamparan sawah Bangkok bagian tenggara dimana dunia Thai menyatu dengan kultur bangsa Lao di perbukitan.

Mungkin cara paling mudah untuk memahami bagaimana Molam dapat masuk (atau tidak) ke Thailand adalah membandingkannya dengan musik country yang selalu ditolak di area metropolis seperti New York dan Los Angeles, namun sangat hidup di belantara Nashville dan bagian selatan Amerika Serikat.

Khaen – alat musik tiup dari bambu, yang biasanya terdiri dari 16 pipa – menjadi tumpuan bunyi dari musik Molam.

Baca juga: Taman dan Persahabatan Indonesia-Thailand di KBRI Bangkok

Dengan “serangan” suara yang intens dan parau, Khaen merepresentasikan kehadiran identitas Lao – sesuatu yang sejak dahulu ingin diredam oleh pemimpin-pemimpin di Thailand.

Ketegangan antara kebijakan “Thaifikasi” Bangkok, yang berupaya menghomogenisasi penduduk, dan penolakan keras dari provinsi-provinsi terluarnya – seperti di wilayah Isaarn yang memiliki populasi lebih dari 21 juta – bersumber dari sejarah politik di Thailand.

Tim Ceritalah baru saja mengunjungi provinsi Khon Khaen untuk mendengar dan menikmati Molam (musiknya memang enak) untuk mendapat gambaran bagaimana kecenderungan politik di Isaarn – yang memiliki akar kultural Lao yang kuat.

Selama hampir 21 tahun, keluarga Shinawatra merupakan kekuatan politik terbesar di wilayah tersebut. Kebijakan mereka yang pro-petani telah memberikan mereka banyak dukungan grass root di seluruh Isaarn.

Mereka sangat mengidolakan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, dengan kebijakan asuransi kesehatan universal yang memberikan akses kepada 2/3 populasi di Thailand.

Patiwat Saraiyaem (seringkali dikenal dengan nama panggungnya, Molam Bank atau Bank) adalah seorang penyanyi berusia 29 tahun dari provinsi Sakon Nakhon. Ia sudah naik panggung sejak berusia 13 tahun.

Baca juga: Serupa Jakarta, Co-working Space di Bangkok Jadi Tren

Ia juga pernah menjadi aktor teater. Tapi itu semua mengingatkannya terhadap kenangan buruk.

“Saya pernah dipenjara di Bangkok pada 2014 karena tuduhan lèse majesté (penghinaan terhadap kerajaan). Saya baru bebas Agustus 2016. Saya memainkan peran menjadi penasihat raja Thailand di sebuah produksi berjudul “The Wolf Bride”. Saya mengutarakan hal yang seharusnya tidak saya ucapkan… Maaf saya tidak bisa mengucapkannya dengan kencang,” ujar Bank sambil meminta maaf dengan tawa yang gugup.

Khon Khaen adalah salah satu kota besar di Isaarn. Shinawatra telah menjadi kekuatan politik yang mendominasi di wilayah ini selama hampir 20 tahun.Muhaimin E-Taela for Ceritalah Khon Khaen adalah salah satu kota besar di Isaarn. Shinawatra telah menjadi kekuatan politik yang mendominasi di wilayah ini selama hampir 20 tahun.
Penampilan Bank yang kontroversial merupakan pengingat akan hari kelam di sejarah Thailand modern – pembantaian di perguruan tinggi Thammasat University yang mengakibatkan tewasnya 100 pelajar dan 800 korban luka saat mereka protes terhadap pemimpin militer saat itu, Thanom Kittikachorn.

Interpretasi lèse majesté sendiri sangat luas. Pasal 112 dari hukum tersebut dapat memberikan hukuman penjara terhadap siapa saja yang “memfitnah, mencela, atau mengancam” pihak kerajaan selama maksimum 15 tahun, sebuah hukum yang tak berubah selama 11 dekade.

Sepertinya ucapan, dan juga budaya, telah menjadi sebuah ajang pertarungan di Thailand yang makin terpolitisasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com