TRIPOLI, KOMPAS.com - Pemimpin pergerakan militer yang ada di Libya dan Yaman dilaporkan meminta Rusia untuk masuk dan membantu mereka menyelesaikan konflik.
Dari Libya, permintaan itu datang dari juru bicara Tentara Nasional Libya yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar.
Dilansir Newsweek Rabu (8/8/2018), Brigjen Ahmed al-Mesmari berujar Libya dan Rusia menjalin hubungan militer kuat saat era mendiang Muammar Gaddafi.
Baca juga: Militer Libya Minta Bantuan Inggris untuk Beri Pelatihan Anti-teror
Hubungan itu pupus setelah Gaddafi digulingkan dalam sebuah pemberontakan, dan tewas ketika konvoinya diserang jet tempur.
Saat ini, Libya terbagi atas dua faksi yakni pemerintahan Haftar di Tobruk, dan pemerintahan Perjanjian Nasional di Tripoli yang disokong PBB.
Mesmari menjelaskan, Tentara Nasional Libya dipersenjatai dengan senjata buatan Rusia, dan mengalami indoktrinasi dari Timur.
"Karena itu, Libya butuh mereka (Rusia) untuk mengendalikan situasi di saat teror terus terjadi," beber Mesmari.
Dia melanjutkan permintaan itu datang setelah melihat Rusia membantu Presiden Suriah Bashar al-Assad merebut wilayahnya yang sempat dikuasai pemberontak.
Pada awal 2017, Assad hanya menguasai sekitar 17 persen wilayah Suriah. Namun saat ini dia dilaporkan merebut dua per tiga.
Mesmari mengatakan Negeri "Beruang Merah" telah berperan aktif dalam mengatasi teror yang ada di kawasan Timur Tengah.
"Konflik Libya membutuhkan keterlibatan Rusia dan Presiden Vladimir Putin untuk mengusir aktor seperti Turki, Qatar, maupun Italia," tegasnya.
Meski belum ada tanggapan dari Rusia, dilaporkan Kremlin menjalin hubungan baik dengan pemerintahan Tobruk maupun Tripoli.
Selain Libya, Yaman melalui pemerintahan yang dibentuk Houthi juga meminta bantuan kepada Rusia untuk melakukan intervensi.
Pemimpin Dewan Politik Tertinggi, Mahdi al-Mashat, menulis surat secara langsung kepada Putin dengan latar belakang pertempuran Hodeidah.
Baca juga: Presiden Yaman Desak Penarikan Total Pasukan Houthi dari Hodeidah
Dalam surat itu, Mashat meminta Putin turun langsung untuk mencegah koalisi yang dibentuk Arab Saudi menghancurkan mereka.
"Sehingga konflik yang menyebabkan krisis kemanusiaan, seperti yang dikatakan PBB, bisa segera berakhir," tulis Mashat.
Pergerakan Arab Springs yang terjadi di 2011 membuat demonstrasi besar sehingga menurunkan Presiden Ali Abdullah Saleh di 2012.
Penggantinya, Abed Rabbo Mansour Hadi, mengungsi ke Aden setelah Houthi melakukan perlawanan dengan merebut ibu kota Sana'a di 2015.
Baca juga: Menegangkan, Final Piala Libya Diwarnai Suara Tembakan
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.