Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kotoran Manusia yang Menggunung Jadi Masalah di Everest

Kompas.com - 06/08/2018, 16:40 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

Sumber CNN

KATHMANDU, KOMPAS.com - Saat para pendaki tengah terpacu menaklukkan puncak tertinggi dunia Gunung Everest, maka cara dan tempat mereka buang hajat menjadi prioritas terakhir.

Nyatanya urusan hajat manusia ini menjadi salah satu problem besar di Gunung Everest. Pada musim pendakian tahun ini, para pekerja membersihkan setidaknya 14.000 kilogram kotoran manusia.

Jumlah itu setara dengan bobot dua ekor gajah dewasa.

Kotoran manusia itu berasal dari "base camp" di kaki gunung hingga ke sebuah lokasi pembuangan di dekat puncak.

Baca juga: Nobukazu Kuriki Tewas saat Coba Turun ke Camp II Gunung Everest

Demikian data yang disampaikan, Komite Pengendalian Polusi Sagarmantha (SPCC), sebuah LSM yang bekerja untuk membersihkan Gunung Everest.

Di Gorak Shep, sebuah lokasi pembuangan beku di ketinggian sekitar 5.100 meter dari permukaan laut, kotoran dibuang begitu saja di tempat terbuka hingga mengerut dan kering.

Namun, ada risiko kotoran-kotoran itu akan masuk ke sungai dan meracuni sistem pasokan air bersih. Demikian penjelasan Garry Porter, pensiunan pendaki asal Amerika Serikat.

"Sangat tak enak dipandang dan tak sehat, ini merupakan masalah kesehatan dan mimpi buruk bagi lingkungan," kata Porter kepada CNN.

"Saya mengalami ketegangan dan keagungan Gunung Everest, tetapi saya juga melihat apa yang terjadi saat kita meninggalkan kotoran seolah kotoran kita tidak berbau," tambah dia.

Namun, Porter tidak menyalahkan para pendaki sebab tujuan utama mereka adalah menaklukkan puncak dan kembali dengan selamat.

Porter juga tak menyalahkan pemerintah Nepal karena tidak menyediakan tempat pengelolaan kotoran di rute pendakian.

Yangji Doma dari SPCC sepakat bahwa cara manajemen kotoran manusia di Gunung Everest adalah sebuah problem.

"Kami memastikan kotoran tidak dibuang di gletser. Namun, masalah utamanya adalah di sama amat dingin sehingga kotoran itu tak cepat terurai," ujar Yangji.

Akhirnya Porter bersama rekannya sesama pendaki Dan Mazur menjalankan proyek biogas Gunung Everest hampir delapan tahun lalu untuk mencoba mengurangi kerusakan lingkungan ini.

Selama bertahun-tahun, Porter dan Mazur memikirkan ide untuk memasang sebuah biogas digester di Gorak Shep untuk mengubah kotoran manusia menjadi gas metana.

Cara ini digunakan di seluruh dunia dan mudah dibuat. Namun, sulit dioperasikan di tempat yang amat tinggi dengan suhu di bawah nol derajat Celcius.

Hal itu terjadi karena proses untuk mengubah kotoran menjadi gas metana membutuhkan bakteri di dalam sampah organik.

"Dan mikroorganisme hidup ini butuh suhu yang hangat," papar Porter.

Proyek biogas Gunung Everest ini rencananya menggunakan panel surya untuk mentransmisikan panas ke dalam digester.

Mereka juga menggunakan baterai untuk menyimpan energi di saat matahari tidak bersinar.

Produk akhir dari proses ini adalah gas metana yang bisa digunakan untuk memasak atau penerangan. Selain itu sisanya bisa digunakan sebagai pupuk.

"Cara mengubah barang yang menjijikkan menjadi dua produk yang bisa digunakan warga Nepal," ujar Porter.

Sayangnya, kata Porter, para pendaki kerap menggunakan antibiotik sehingga awalnya dia khawatir antibiotik di dalam kotoran akan memengaruhi kemampuan mikroorganisme untuk mengubah kotoran menjadi metana.

Namun, Porter melanjutkan sebuah digester mini di Universitas Kathmandu sukses mengubah kotoran manusia yang berasal dari kamp pendaki menjadi gas metana.

Meski demikian, tim masih harus menguji apakah sisa proses ini bebas dari mikroorganisme jahat sehingga aman jika digunakan sebagai pupuk.

Porter mengatakan, mereka akan melakukan uji coba limbah proses biogas itu  tahun ini. Dan jika terbukti berbahaya maka rencana selanjutkan adalan menyaring zat-zat tidak baik itu dengan menggunakan sistem septik bawah tanah.

Porter memperkirakan digester pertama akan memakan biaya sekitar 500.000 dolar AS atau sekitar Rp 7,2 miliar.

Biaya semahal itu lebih disebabkan karena ongkos untuk membawa benda-benda itu ke Gorak Shep di ketinggian 5.100 meter dari permukaan laut.

Yongji Doma dari SPCC berharap proyek ini akan sukses sehingga masalah kotoran manusia di gunung tertinggi di dunia itu bisa teratasi.

Baca juga: Pendakian Kedelapan, Pendaki Asal Jepang Nobukazu Kuriki Tewas di Gunung Everest

"Solusi ini amat inovatif untuk mengatasi masalah kotoran manusia dalam jangka panjang, sebab saat ini cara kami melakukannya tidak baik, tidak berkelanjutan," ujar Doma.

Sementara bagi Porter upayanya ini adalah bagian dari membayar utang kepada rakyat Nepal.

"Saya juga menjadi bagian dari masalah ini, sehingga saya harap kini kami bisa menjadi bagian dari solusi," tambah dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber CNN
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com