Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biografi Tokoh Dunia: Mohammad Reza Pahlavi, Raja Terakhir Iran

Kompas.com - 27/07/2018, 23:24 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Mohammad Reza Pahlavi merupakan seorang Shah, atau raja terakhir yang berkuasa di Iran dengan gelar Shahanshah atau Raja Segala Raja.

Meski dinobatkan pada 26 Oktober 1967, Pahlavi bertahta di Iran sejak 16 September 1941, atau ketika ayahnya, Reza Shah Pahlavi, dilengserkan.

Kekuasaan Pahlavi berakhir pada 1979 menyusul Revolusi Iran di bawah pimpinan Ayatollah Khomeini, sekaligus mengakhiri masa kerajaan berusia 2.500 tahun itu.

Diberitakan dari berbagai sumber, berikut adalah biografi dari Reza Pahlavi yang kemudian dikenal sebagai "Sang Shah" tersebut.

Baca juga: Raja Thailand Resmi Terima Warisan Rp 422 Triliun

1. Masa Kecil
Pahlavi lahir di Teheran pada 26 Oktober 1919 dari Reza Shah Pahlavi, seorang Brigadir Jenderal yang menjadi raja, dan mendirikan Dinasti Pahlavi.

Setelah dinobatkan sebagai Putra Mahkota, Pahlavi dipaksa lepas dari ibu dan saudara-saudaranya untuk mendapat pelatihan yang lebih "jantan".

Ketika usianya menginjak 11 tahun, atas saran Menteri Kehakiman Abdolhossein Teymourtash, dia dibawa ke Institut Le Rosey, Swiss.

Pada hari pertamanya bersekolah September 1931, Pahlavi sudah disiksa oleh teman sekelasnya yang berasal dari Amerika Serikat.

Sebabnya, sebagai seorang calon pewaris tahta, dia harus mendapat hormat. Murid AS itu berkata bahwa di Swiss, semua orang setara.

Pahlavi menjalani pendidikan di Swiss hingga 1936. Pada saat itu, dia bertemu Ernest Perron yang kelak menjadi tangan kanannya.

Selepas lulus dari Le Rosey, dia kembali ke Iran untuk mssuk ke akademi militer, dan lulus pada 1938 dengan pangkat Letnan Dua.

Namun, saat upacara kelulusan, pangkatnya menjulang dua tingkat menjadi Kapten, dan tetap bertahan hingga dia berkuasa.

Baca juga: Prihatin Utang Negara, Raja Malaysia Minta Gajinya Dipangkas

2. Penggulingan Sang Ayah dan Menjadi Raja Iran
Pada 1941, Perang Dunia II dimulai ketika Nazi Jerman menginvasi Uni Soviet melalui Operasi Barbarossa, dan mengakhiria Pakta Non-agresi Soviet-Nazi.

Di musim panas 1941, diplomat Soviet dan Inggris mulai mengancam bakal menyerang Iran jika Jerman tak segera angkat kaki dari sana.

Sebagai penasihat utama sekaligus yang terdekat, Reza Pahlavi merasa bahwa invasi Soviet-Inggris tak bakal terjadi.

Namun di 25 Agustus 1941, angkatan laut Inggris dan Australia menyerang Teluk Persia sementara Soviet menyerang lewat darat.

Di hari kedua serangan, angkatan udara Soviet membombardir Teheran yang memaksa para prajuritnya melarikan diri melalui gurun.

Akhirnya pada musim panas 1941, serangan yang dilakukan militer Soviet dan Inggris membuat Reza Shah Pahlavi meletakkan tahtanya.

Pengumuman pengunduran diri Reza Shah diumumkan Perdana Menteri Forughi dan Menteri Luar Negeri Ali Soheili, serta penetapan Pahlavi sebagai suksesor.

Keesokan harinya, Pahlavi masuk ke kantor dan diterima dengan hangat oleh anggota parlemen dan rakyat yang mengelu-elukannya di jalan.

Inggris sebenarnya lebih suka untuk menempatkan kembali Dinasti Qajar kembali ke kekuasaannya di Teheran.

Namun, sang penerus tahta, Pangeran Hamid Mirza yang adalah perwira Angkatan Laut Inggris, sama sekali tak bisa berbahasa Persia.

Karena itu, mereka terpaksa menerima Pahlavi. Adapun Soviet juga menerima dengan catatan dia memastikan kestabilan pasokan suplai Sekutu di Perang Dunia II.

Baca juga: Raja Salman Perpanjang Libur Lebaran Pegawai Pemerintah Jadi 10 Hari

3. Nasionalisasi Minyak dan Kudeta 1953
Awal 1950-an, krisis politik menyeruak di Iran yang juga melibatkan Inggris serta Amerika Serikat (AS).

Semuanya berawal ketika Pahlavi mengangkat MOhammad Mosaddegh sebagai Perdana Menteri pada April 1951.

Mosaddegh sebelumnya berhasil mendapat dukungan dari Majlis (Parlemen) untuk melakukan nasionalisasi Perusahaan Minyak Anglo-Iranian (AIOC).

Baca juga: Garda Revolusi Iran Klaim Demo Anti-pemerintah Berakhir

Penutupan tersebut tidak saja menghentikan pasokan minyak untuk mendongkrak perekonomian Inggris, namun juga pengaruh mereka di Iran.

Aksi Mosaddegh menimbulkan konfrontasi yang membuat dua dinas rahasia Inggris-AS, CIA dan SIS, untuk bersatu menggulingkan Mosaddegh.

Mereka kemudian meminta Pahlavi menandatangani dekrit pemecatan Mosaddegh, dan mengangkat Jenderal Faziollah Zahedi sebagai penerus.

Operasi bernama Ajax kemudian dilakukan setelah melalui serangkaian persiapan yang matang. Namun, operasi itu menemui kegagalan.

Sebabnya dengan cerdik, Mosaddegh meminta Majlis untuk diizinkan mendapat kekuasaan langsung atas militer.

Kudeta yang gagal itu kemudian membuat Pahlavi melarikan diri ke Baghdad, Irak, kemudian Roma, Italia.

Ketika berada di Roma, seorang diplomat Inggris bertemu dengan Pahlavi yang lebih banyak menghabiskan waktunya di kelab malam.

Untuk membuatnya kembali meneruskan rencana kudeta, adiknya, Putri Ashraf, kemudian berbicara dengan sang kakak pada 29 Juli 1953.

Akhirnya, Pahlavi bersedia kembali ke Iran dan meneruskan rencana kudeta tersebut yang kemudian membuahkan hasil.

Mosaddegh kemudian ditangkap dan diadili. Atas pengampunan Pahlavi, hukumannya menjadi tiga tahun penjara, dan seumur hidup di pengasingan.

Baca juga: Jika Iran dan AS Berperang, Siapa yang Lebih Unggul?

4. Masa Pemerintahan Pahlavi
Di bawah kepemimpinan Pahlavi, Iran mulai memasuki masa "Revolusi Putih" dengan bantuan Negeri "Paman Sam".

Revolusi itu mencakup pembangunan jalan, jalur kereta, bandara, sejumlah proyek pembangunan bendungan dan irigasi.

Di 1970-an, rerata pertumbuhan ekonomi Iran sama dengan Korea Selatan (Korsel), Turki, hingga Taiwan, dan diprediksi bakal menjadi negara Dunia Pertama.

Salah satunya adalah perusahaan yang dikelola Khayami Bersaudara menjadi produsen mobil terbesar di Timur Tengah dengan 136.000 unit setiap tahun.

Di bawah kekuasaannya, Iran menjadi tempat yang toleran bagi kalangan minoritas, salah satunya adalah komunitas Yahudi.

Prestasi Pahlavi selain ekonomi adalah menumbuhkan kesadaran politik perempuan, serta meginstruksikan agar makanan bagi siswa di sekolah gratis.

Baca juga: AS Kemungkinan Serang Iran Bulan Depan

5. Revolusi Iran dan Pelengseran dari Tahta
Meski menuai perkembangan, Pahlavi juga menerima kritik yang menyatakan bahwa Revolusi Putih yang dicanangkan tidak maksimal.

Selain itu, sejumlah kaum religius mengatakan bahwa Westernisasi yang dilakukan Pahlavi merupakan anti-tesis dari ajaran agama.

Kalangan oposisi juga menuduh pemerintahan Pahlavi korup, pembagian hasil minyak yang tak merata, hingga penekanan kepada lawan politik.

Baca juga: Ketika Trump dan Menlu Iran Terlibat Tweet-War

Puncaknya pada 8 September 1978, berlangsung sebuah peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Black Friday.

Saat itu, ribuan orang berkumpul di Lapangan Jaleh untuk menuntut agar Ayatollah Khomeini kembali ke Iran.

Pasukan kerajaan yang tidak terlatih menghadapi demonstran kemudian melepaskan tembakan yang membunuh 89 orang.

Insiden itu menimbulkan dampak yang lebih luas dengan pergerakan aksi unjuk rasa semakin radikal, dan menipiskan peluang terjadinya rekonsiliasi.

Gelombang demonstrasi di berbagai kawasan di mana sekitar sembilan juta orang berbaris menuntut mundurnya Pahlavi terjadi pada Oktober 1978.

Situasi itu membuat Pahlavi menuduh Duta Besar Inggris, Sir Anthony Parsons, dan Dubes AS William Sullivan sengaja menggalang aksi itu.

Pada 16 Januari 1979, Pahlavi membuat kontrak dengan Farboud, dan meninggalkan Iran. Kemudian Khomeini mengambil alih kekuasaan.

Meski Pahlavi tidak memutuskan mundur, sebuah referendum menghasilkan deklarasi berdirinya Republik Islam Iran di 1 April 1979.

Dia mengasingkan diri di sejumlah tempat seperti Mesir, Maroko, Bahama, Meksiko, sebelum ke AS pada 22 Oktober 1979 untuk memeriksakan kanker limfatik yang diderita.

Dua pekan kemudian, tentara Iran menyerbu Kedutaan Besar AS di Teheran, dan menawan 50 staf serta menuntut ekstradisi Pahlavi.

Permintaan itu ditolak, dengan Sang Shah menuju ke Panama, dan Kairo di mana mendapat suaka dari Presiden Anwar el-Sadat.

Baca juga: Jenderal Iran: Trump Hanya Melakukan Perang Urat Saraf

6. Kematian
Pada 27 Juli 1980, Pahlavi meninggal dalam usia 60 tahun setelah menderita komplikasi  Waldenström's macroglobulinemia.

Presiden Sadat memimpin upacara pemakaman yang dihadiri anggota Dinasti Pahlavi, mantan Presiden AS Richard Nixon, dan Raja Yunani Constantine II.

Pahlavi dimakamkan di Masjid Al Rifa'i, di mana di sana juga dimakamkan sang ayah, Reza Shah, dan Raja Farouk, mantan kakak iparnya.

Baca juga: Trump ke Presiden Iran: Jangan Pernah Mengancam AS Lagi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com