Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biografi Tokoh Dunia: Van Gogh, Pelukis Pasca-Impresionisme

Kompas.com - 25/07/2018, 23:43 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Vincent van Gogh merupakan salah satu pelukis Pasca-Impresionisme terhebat yang berasal dari Belanda.

Sepanjang hidupnya, dia telah menciptakan sekitar 2.100 karya seni. Termasuk di antaranya 860 lukisan menggunakan cat minyak.

Beberapa lukisannya yang terkenal adalah Sunflowers, The Starry Night, Sorrow, maupun The Potato Eaters.

Karya-karyanya memberikan pengaruh pada awal abad ke-20. Dia dianggap sebagai pioner aliran Ekspresionisme.

Berikut merupakan biografi dari pelukis yang dianggap sebagai peletak karya seni modern serta goresan kuasnya yang ekspresif itu.

Baca juga: Sepotong Kisah Pelukis Van Gogh sebagai Seorang Bipolar

1. Masa Kecil
Bernama panjang Vincent Willem van Gogh, dia lahir pada 30 Maret 1853 di Groot-Zundert di Provinsi Brabant.

Ayahnya Theodorus van Gogh merupakan seorang pejabat gereja di Gereja Reformis Belanda, sedangkan sang ibu, Anna Cornelia Carbentus, adalah seniman.

Van Gogh merupakan anak yang serius namun bijaksana. Dia sempat menjalani homeschooling di bawah bimbingan ibunya dan pengasuh.

Kemudian pada 1860 dia masuk ke sekolah lokal. Setelah itu empat tahun kemudian, dia ditempatkan di sekolah asrama.

Di sana, Van Gogh merasa ditinggalkan sehingga berniat pulang. Namun, alih-alih dikabulkan, padsa 1866 dia dimasukkan sekolah menengah di Tilburg.

Gairah serta ketertarikannya pada seni mulai menyeruak saat masih kecil dia diminta ibunya untuk menggambar.

Gambar awalnya sangatlah ekspresif. Dia kemudian diasah lebih mendalam di Tilburg di bawah asuhan Constant Cornelis Huijsmans, seniman terkenal di Paris, Perancis.

Filosofi Huijsmans adalah menolak segala bentuk impresi akan benda, utamanya pada alam atau obyek biasa.

Baca juga: Tak Dipinjamkan Lukisan Van Gogh, Trump Ditawari Kloset Lapis Emas

Namun, filosofi itu nampaknya tidak disukai Van Gogh sehingga mata pelajaran itu sama sekali tidak masuk ke pikirannya.

Di usia 15 tahun, keluarga Van Gogh mulai mengalami kesulitan finansial sehingga dia terpaksa berhenti sekolah dan memutuskan bekerja.

Dia kemudian mendapat pekerjaan di toko penjualan barang seni milik pamannya, Goupil & Cie yang terletak di Den Haag.

Pada saat itu, Van Gogh muda telah menguasai dengan baik bahasa Jerman, Perancis, dan Inggris sama seperti Belanda yang merupakan bahasa ibu.

Setelah menyelesaikan pelatihan, pada 1873 dia dipindahkan di cabang Goupil di Southampton Street, Inggris.

Di Inggris, Van Gogh merasakan kebahagiaan karena dia merupakan pegawai yang baik, dan menerima penghasilan lebih besar dari ayahnya.

Dia begitu jatuh cinta dengan kebudayaan Inggris. Di waktu luangnya, dia mengunjungi galeri seni, dan menyukai karya Charles Dickens maupun George Eliot.

Kemudian dia jatuh cinta dengan putri pemilik penginapannya, Eugenie Loyer. Namun, Loyer menolak lamarannya.

Penolakan itu benar-benar membuat Van Gogh hancur. Dia membuang bukunya kecuali Alkitab, dan mendedikasikan hidupnya kepada Tuhan.

Tidak hanya itu. Dia juga mengatakan kepada pelanggan untuk tidak membeli "karya seni tak bernilai" yang membuatnya dipecat.

Di 1875, ayah dan pamannya sengaja mengirimkan dia ke Paris yang membuatnya makin muak dengan isu seperti komodifikasi seni. Dia kemudian dikeluarkan di 1876.

April 1876, dia kembali ke Inggris dan bekerja tanpa upah sebagai guru pengganti di sekolah asrama kecil Ramsgate.

Ketika si pemilik sekolah pindah ke Isleworth, Van Gogh mengikutinya. Namun, keputusannya tak memberikan dampak positif.

Dia kemudian mengajar di Sekolah Pria Metodis di mana saat itu, dia sudah benar-benar serius menyerahkan hidupnya kepada gereja.

Baca juga: Lukisan Van Gogh yang Dicuri Telah Diamankan dari Tangan Mafia di Italia

Demi menjadi pendeta, dia kemudian mempersiapkan diri untuk sukses menembus ujian masuk di Sekolah Teologi Amsterdam.

Setelah setahun belajar dengan rajin, ganjalan terasa setelah dia menolak mengikuti ujian bahasa Latin.

Menurutnya, bahasa itu merupakan "bahasa mati" bagi kaum miskin, sehingga konsekuensinya dia dinyatakan tidak diterima.

Kejadian yang sama juga berlangsung di Gereja Belgia. Pada musim dingin 1878, Van Gogh menjadi relawan pindah ke tambang batu bara miskin di kawasan selatan.

Di sana, dia mengajar dan melayani orang sakit, serta membuat gambar para penambang dan keluarganya sehingga dia dijuluki "Yesus dari Tambang Batu Bara".

Namun, caranya ternyata tak disukai KOmite Injil yang memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya sehingga dia terpaksa mencari pekerjaan lain.

Baca juga: 14 Tahun Hilang, Dua Masterpiece Van Gogh Ditemukan di Rumah Mafia Italia

2. Mulai Membuka Jalan Menjadi Seniman
Musim gugur, 1880, Van Gogh pindah ke Brussels, dan mulai mencoba peruntungannya sebagai seorang seniman.

Meski dia tidak pernah menerima pendidikan tentang seni, saudaranya Theo bersedia untuk menanggung biaya hidupnya.

Van Gogh kemudian belajar secara otodidak melalui buku seperti Travaux des champs dari Jean-François Millet maupun Cours de dessin karangan Charles Bargue.

Karya seni membantu mengendalikan kondisi emosional Van Gogh. Pada 1885, dia memulai pengerjaan karya pertamanya berjudul Potato Eaters.

Baca juga: Pelukis Van Gogh Berikan Potongan Telinganya kepada Putri Petani

Saat itu, Theo memutuskan untuk tinggal di Paris. Van Gogh mengikutinya sehingga di 1886, dia tinggal bersama saudaranya di apartemen.

Di ibu kota Perancis itu, Van Gogh begitu terkesima dengan cahaya, warna, dan seni yang ditampilkan impresionisme itu.

Dia kemudian mulai belajar bersama Henri de Toulouse-Lautrec, Camille Pissarro, serta para pelukis lain.

Untuk menghemat uang, mereka memutuskan tidak menyewa model. Melainkan berpose bagi lukisan masing-masing.

Van Gogh sangat bersemangat. Bahkan saking semangatnya, dia sering berdebat dengan pelukis lain sehingga membuat mereka jengah.

Dia kemudian mulai menyukai seni Jepang dan berniat mempelajari filosofi Timur demi menyempurnakan seninya.

Namun, oleh Toulouse-Lautrec, dia mendapat saran untuk pergi ke sebuah desa bernama Arles di mana cahaya di sana mirip dengan di Jepang.

Februari 1888, Van Gogh memutuskan naik kereta ke desa yang terletak di kawasan selatan Perancis tersebut.

Selama di sana, dia menghabiskan uangnya untuk membeli bahan-bahan lukisan daripada makanan maupun kebutuhan lain.

Baca juga: Kereta Bayi Jadi Kanvas Lukisan Vincent van Gogh

3. Memotong Telinganya
Pada Desember 1888, dia merasa kondisinya memburuk, aneh, dan dia merasa sakit. Diyakini saat itu kesehatan psikologisnya menurun.

Theo menjadi khawatir, dan kemudian menawarkan sejumlah uang kepada seniman Perancis, Paul Gauguin, untuk mengunjungi Van Gogh.

Selama sebulan, keduanya sering berdebat hingga suatu malam, Gauguin memutuskan untuk keluar dari rumah.

Setelah pertengkaran mereka, Van Gogh kembali ke kamarnya di mana dia merasa mendengar sesuatu sehingga memutuskan memotong telinga kirinya dengan pisau cukur.

Beberapa jam kemudian, Van Gogh pergi ke rumah bordil di mana dia membayar wanita penghibur bernama Rachel.

Baca juga: Penyelidik Pajak Temukan Lukisan Van Gogh yang Hilang

Dengan tangan yang masih berlumuran darah, dia menawarkan Rachel telinganya sambil berkata agar telinganya dijaga baik-baik.

Polisi menemukan Van Gogh di kamarnya keesokan paginya, yang kemudian segera dilarikan ke Rumah Sakit Hotel-Dieu.

Theo datang menjenguk Van Gogh saat Hari Raya Natal di mana dia menemukan kakaknya lemas karena kehilangan banyak darah.

Dia dirawat hingga 7 Januari 1889. Saat itu, dia merasa sangat sendiri dan depresi hingga memutuskan kembali melukis.

Namun, melukis nyatanya tidak memberikan kedamaian batin sehingga dia melukis pada siang hari, sebelum masuk rumah sakit malamnya.

Baca juga: Lukisan Baru Vincent van Gogh Diperkenalkan

4. Rumah Sakit Jiwa dan Akhir Hidupnya
Van Gogh memutuskan pindah ke Rumah Sakit Jiwa aint-Paul-de-Mausole setelah masyarakat di Arles meneken petisi bahwa dia sangat berbahaya.

8 Mei 1889, dia kembali melukis di kebun rumah sakit. Di November 1889, dia menerima undangan pameran di Brussels.

Dia mengirimkan enam lukisan termasuk di antaranya The Starry Night dan Irises. Mei 1890, dia meninggalkan rumah sakit jiwa dan pindah ke Auvers-sur-Oise.

Baca juga: Nostalgia Van Gogh dan Victoria Beckham

Saat itu, dia dirawat oleh Dr Paul Gachet yang merupakan pelukis amatir serta telah merawat sejumlah seniman.

Pada 27 Juli 1890 di usia 37 tahun, Van Gogh mencoba bunuh diri dengan cara menembak dadanya menggunakan revolver Lefaucheux 7mm.

Saat itu pelurunya tersangkut di tulang belakangnya. Dia sempat dirawat. Namun tidak dilakukan operasi sehingga pelurunya tak dikeluarkan.

Van Gogh meninggal karena menderita infeksi di lukanya pada 29 Juli 1890 dengan kata terakhir "kesedihan bakal bertahan selamanya".

Dia dimakamkan di pemakaman lokal di Auvers-sur-Oise dengan dihadiri keluarga serta koleganya sesama seniman.

Kematian Van Gogh membuat kondisi Theo yang lemah karena menderita sifilis semakin memburuk hingga meninggal 25 Januari 1891.

Baca juga: Bersepeda di Jalur Ini Bisa Sekaligus Menikmati Lukisan Van Gogh

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com