Kemudian Trump dan Kim menandatangani kesepakatan yang menyatakan Kim bersedia untuk menghentikan program senjata nuklirnya.
Dari sisi Kim, dia boleh dibilang "menang" setelah Trump mengumumkan bakal menghentikan latihan militer antara AS dengan Korea Selatan (Korsel).
Latihan perang bersandi Foal Eagle dan Key Resolve itu selama bertahun-tahun selalu menjadi keluhan utama Korut.
Baca juga: Trump: Latihan Militer AS dan Korsel Bakal Dihentikan
Sebab, Korut menganggap latihan rutin tahunan itu merupakan ancaman bagi keamanan sehingga menjadi alasan untuk mempertahankan nuklir mereka.
Dengan kesuksesan tahap pertama itu, maka tantangan yang lebih berat bakal dihadapi oleh Trump dan Kim ketika mereka menginjak indikator kedua dan ketiga.
Yang paling terlihat adalah bentuk denuklirisasi seperti apa yang diinginkan oleh AS pasca-pertemuan di Singapura.
Olivia Enos, analis kebijakan berkata, pertemuan tersebut hanya berputar pada pembahasan nilai historis maupun kemegahan yang ditampilkan.
"Kecil sekali pembahasan akan detil apa itu denuklirisasi. Termasuk keinginan AS agar proses tersebut berlangsung menyeluruh, transparan, dan bisa diverifikasi," tutur Enos.
Penasihat keamanan Trump, John Bolton, sempat mencetuskan bahwa denuklirisasi di Korut hanya bisa dilakukan dengan menggunakan model Libya.
Model tersebut mengharuskan Korut menyerahkan seluruh senjata nuklir yang dipunya, kemudian mengirimkannya ke fasilitas yang ditunjuk AS.
Melihat hubungan yang baru saja dibangun, Trump sangat besar kemungkinannya untuk tidak mendengarkan saran dari penasihatnya itu.
Sebab, ketika Bolton mengusulkannya, Pyongyang bereaksi dengan keras, dan sempat mengancam bakal membatalkan pertemuan.
Karena itu dalam konferensi pers, secara tersirat Trump menyatakan bakal mencari formula denuklirisasi yang tepat.
"Kami akan kembali bertemu. Kami akan bertemu lagi berkali-kali," ucap presiden yang berasal dari Partai Republik itu.
Baca juga: Trump: Kami akan Bertemu Berkali-kali