Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batalnya Pertemuan Trump-Kim Jong Un, Puncak Blunder Diplomasi AS

Kompas.com - 25/05/2018, 15:57 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

Sumber BBC,SCMP

WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Pertemuan AS-Korea Utara yang digadang-gadang bisa menjadi langkah penyelesaian krisis Semenanjung Korea ternyata batal terwujud setelah Presiden AS Donald Trump mengurungkan rencana pertemuan itu.

Inti kegagalan pertemuan itu seakan menggarisbawahi buruknya pendekatan diplomasi Trump yang seakan berputar hanya di sekitar dirinya.

Surat Trump untuk pemimpin Korea Utara Kim Jong Un secara ringkas menggambarkan pandangan Trump soal cara penyelesaian konflik Korea.

Dalam surat itu, Trump menggambarkan apa yang disebutnya sebagai "dialog terbaik" yang dia yakini bisa dikembangkan bersama Kim Jong Un.

Baca juga: Ini Lima Pernyataan Donald Trump yang Mengundang Kontroversi

"Hal terpenting dari semua ini adalah dialog," kata Trump di dalam suratnya.

Sayangnya dalam kenyataann selama sepekan terakhir deretan miskomunikasi dan saling cerca menunjukkan sama sekali tak ada "chemistry" di antara kedua pemimpin itu.

Namun, hal yang menggagalkan rencana pertemuan kedua pemimpin itu adalah negosiasi yang terburu-buru, buruknya komunikasi para pejabat senior AS, dan tak adanya rencana teliti yang bisa menghasilkan terobosan diplomasi.

"Gaya Trump bernegosiasi, dengan mengajukan tuntutan besar sebelum pondasinya terbentuk, sejauh ini belum memberikan bukti," kata Patrick Cronin, pakar Asia di lembaga Centre for a New American Security.

"Trump harus meredam ambisinya. Masalah ini bukan sekadar denuklirisasi semata," tambah Cronin yang juga menjadi penasihat Pentagon.

Apa yang dikatakan Cronin itu ada benarnya. Trump menjustifikasi keputusannya membatalkan pertemuan dengan Kim Jong Un hanya berdasarkan pernyataan-pertanyaan keras yang dimuat kantor berita Korea Utara, KCNA, sepanjang pekan ini.

Salah satunya adalah pernyataan wakil menlu Korea Utara Choe Sun-hui yang menyebut Wapres Mike Pence sebagai "boneka politik" karena mengulang ancaman Trump.

Pence menyebut, AS akan menyerang Kim Jong Un jika dia tak memenuhi persyaratan yang diajukan Washington terkait pertemuan kedua pemimpin.

Baca juga: Putin Berharap Pertemuan Trump dan Kim Jong Un Bisa Dilanjutkan

Sejak awal, Trump hampir selalu mengambil keputusan dengan masukan yang minim dari para penasihat politik luar negerinya.

Sebenarnya hal semacam ini sudah terlihat sejak Trump resmi bekerja di Gedung Putih yang acapkali menelurkan keputusan kontroversial.

Para Maret lalu, Trump mengejutkan para pembantunya saat menerima tawaran Kim Jong Un untuk menggelar pertemuan untuk mendiskusikan rencana denuklirisasi.

Sebelum keputusan yang nampak seperti sebuah terobosan baru ini, AS dan Korea Utara terlibat saling kecam dan dalam satu titik berpotensi memicu konflik bersenjata baru.

Trump bahkan pernah memperingatkan, akan membalas dengan kekuatan senjata jika Korea Utara memunculkan ancaman.

Bahkan saat Olimpiade Musim Dingin digelar di Korea Selatan, Trump meminta stafnya membuat rencana evakuasi keluarga para personel militer AS dari Semenanjung Korea.

Namun, Kepala Staf Gedung Putih John Kelly dan Menhan Jim Mattis sudah memperingatkan Trump terkait keingannya itu.

Baca juga: Presiden Korsel Sayangkan Pembatalan Pertemuan Trump-Kim Jong Un

Kedua pejabat itu menyebut rencana evakuasi itu jika dilaksanakan bakal membuat Korsel teralienasi, merusak Olimpiade, dan bisa memicu respon keras Korea Utara.

Di awal April, arah kebijakan Trump berubah. Saat itu dia malah membicarakan kemungkinan pertemuan empat mata dengan Kim Jong Un, denuklirisasi Korea, dan bahkan kesepakatan damai dengan Korea Utara.

Dan memang, semua nampaknya berjalan dengan baik. Menyusul pertemuan kedua Korea di Panmunjom, Korea Utara sepakat membebaskan tiga warga AS yang selama ini ditahan di negeri itu.

"Tak seorang pun berpikir kami bisa berada di dalam kondisi saat ini dengan cepat," kata Trump di Pangkalan AU Andrews saat menyambut tiga warga AS yang ditahan Korut.

Trump bahkan menegaskan pembebasan ketiga warga AS tersebut merupakan wujud itikad baik Korea Utara.

Baca juga: Trump Peringatkan Korea Utara agar Tidak Bertindak Bodoh

Pernyataan ini muncul setelah dalam sebuah kegiatan resmi di Michigan, para pendukung Trump menyerukan agar sang presiden dinominasikan sebagai penerima hadiah Nobel.

"Kesuksesan awal ini kemungkinan membuat Trump amat yakin semua akan berjalan jauh lebih mudah dari yang dibayangkan," kata Victor Cha, yang sempat dinominasikan sebagai dubes AS untuk Korea Selatan.

Namun, keyakinan Trump itu tidak dibarengi dengan pertemuan-pertemuan level tinggi. Dalam proses diplomasi tradisional, pertemuan tingkat tinggi harus didahului pertemuan level bawah selama berbulan-bulan.

Pertemuan-pertemuan level bawah itu dirancang untuk saling menumbuhkan rasa percaya dan merancang agenda utama pertemuan.

Proses pembicaraan tersebut diharapkan akan membawa Korea Utara mengungkapkan semua fasilitas nuklirnya sehingga Washington bisa memiliki pemahaman jelas terkait program nuklir Korea Utara sebelum pertemuan sesungguhnya digelar.

Hal-hal semacam ini yang hilang dalam proses menuju pertemuan Trump dan Kim Jong Un.

Baca juga: Trump Batalkan Pertemuannya dengan Kim Jong Un

Sebagai contoh, dalam negosiasi program nuklir Iran, pemerntahan Obama dan Teheran melakukan pembicaraan selama lebih dari dua tahun sebelum kesepakatan diteken.

Dan, langkah-langkah birokrasi dan diplomasi seperti ini tak dilakukan dan berujung pada hancurnya peluang pertemuan langsung dengan Korea Utara.

Sekarang yang tersisa adalah apakah cara diplomasi ala Trump yang mengandalkan "keberanian teatrikal" serta aksi duga menduga, bisa menghasilkan kemenangan diplomatis.

Trump memasuki sebuah negosiasi historis soal Korea tanpa memiliki duta besar di Korea Selatan.

Selain itu, semua pejabat yang terkait masalah ini yaitu Menlu Mike Pompeo dan penasihat keamanan nasional John Bolton adalah orang-orang baru.

Khusus soal John Bolton, sosok ini bisa dianggap sebagai biang kegagalan pertemuan yang dijadwalkan digelar di Singapura.

Baca juga: Kepastian Pertemuan Trump-Kim Jong Un Ditentukan Pekan Depan

Bolton yang merancang tujuan maksimal denuklirisasi denan tujuan mencapai kesepakatan yang akan membuat Korea Utara menghancurkan seluruh senjata pemusnah massalnya, tak hanya senjata nuklir.

Nampaknya, Bolton tak sepenuhnya tertarik untuk melakukan proses panjang diplomasi tradisional dengan Korea Utara.

Beberapa pekan sebelum menjadi penasihat Trump, Bolton mengatakan, tujuan pembicaraan kedua pemimpin harus memangkas semua waktu negosiasi yang tak akan memberikan hasil seperti yang diharapkan AS.

Konsep yang diusung Bolton adalah apa yang disebut dengan "Model Libya", proses pelucutan senjata yang membuat pemimpin Libya saat itu Moammar Kadafi menghentikan program nuklir negeri itu yang baru dimulai.

Namun, pemerintah Korea Utara sejak lama tak mau disamakan dengan Libya dengan menegaskan bahwa negeri itu merupakan  negeri yang sudah memiliki senjata nuklir dengan deretan misil balistik antar-benuanya.

Peluang pertemuan dengan Korea Utara semakin pudar setelah Trump, menyamakan proses perlucutan senjata 2003 dengan invasi ke Libya pada 2011 yang menggulingkan Khadafi.

Baca juga: Trump: Pertemuan dengan Kim Mungkin Tak Sesuai Jadwal

Hal ini kemudian yang membuat Korea Utara menilai bahwa nasib negara yang menolak keinginan AS cepat atau lambat akan berakhir buruk.

Pernyataan ini kemudian dianggap Korea Utara sebagai ancaman dan pernyataan Wapres Mike Pence yang mengulang pernyataan Trump semakin memperburuk situasi.

Pemerintah Korut yakin kedatangan Kim Jong Un ke Singapura tak lebih dari simbol menyerah kepada keinginan AS atau menghadapi invasi militer.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah sebuah bencana diplomasi.

Pertama, pernyataan Trump bahwa AS tak merugi jika pertemuan dengan Kim Jong Un batal, merupakan pernyataan yang amat keliru.

Di saat yang sama, pembatalan sepihak ini terlihat seperti AS tak melemahkan Korea Selatan, yang seharusnya menjadi sekutu kuat di masa genting ini.

Baca juga: Trump Siap Batalkan Pertemuan dengan Kim Jong Un

Kedua, keputusan membatalkan pertemuan hanya beberapa jam setelah Korut memutuskan menutup fasilitas uji coba nuklirnya mendapat sorotan negatif dunia internasional.

Dengan sederet blunder diplomasi yang dilakukan pemerintahan Trump, nampaknya peluang berakhirnya krisis politik di Semenanjung Korea semakin jauh dari kenyataan.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber BBC,SCMP
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com