Beberapa pekan sebelum menjadi penasihat Trump, Bolton mengatakan, tujuan pembicaraan kedua pemimpin harus memangkas semua waktu negosiasi yang tak akan memberikan hasil seperti yang diharapkan AS.
Konsep yang diusung Bolton adalah apa yang disebut dengan "Model Libya", proses pelucutan senjata yang membuat pemimpin Libya saat itu Moammar Kadafi menghentikan program nuklir negeri itu yang baru dimulai.
Namun, pemerintah Korea Utara sejak lama tak mau disamakan dengan Libya dengan menegaskan bahwa negeri itu merupakan negeri yang sudah memiliki senjata nuklir dengan deretan misil balistik antar-benuanya.
Peluang pertemuan dengan Korea Utara semakin pudar setelah Trump, menyamakan proses perlucutan senjata 2003 dengan invasi ke Libya pada 2011 yang menggulingkan Khadafi.
Baca juga: Trump: Pertemuan dengan Kim Mungkin Tak Sesuai Jadwal
Hal ini kemudian yang membuat Korea Utara menilai bahwa nasib negara yang menolak keinginan AS cepat atau lambat akan berakhir buruk.
Pernyataan ini kemudian dianggap Korea Utara sebagai ancaman dan pernyataan Wapres Mike Pence yang mengulang pernyataan Trump semakin memperburuk situasi.
Pemerintah Korut yakin kedatangan Kim Jong Un ke Singapura tak lebih dari simbol menyerah kepada keinginan AS atau menghadapi invasi militer.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah sebuah bencana diplomasi.
Pertama, pernyataan Trump bahwa AS tak merugi jika pertemuan dengan Kim Jong Un batal, merupakan pernyataan yang amat keliru.
Di saat yang sama, pembatalan sepihak ini terlihat seperti AS tak melemahkan Korea Selatan, yang seharusnya menjadi sekutu kuat di masa genting ini.
Baca juga: Trump Siap Batalkan Pertemuan dengan Kim Jong Un
Kedua, keputusan membatalkan pertemuan hanya beberapa jam setelah Korut memutuskan menutup fasilitas uji coba nuklirnya mendapat sorotan negatif dunia internasional.
Dengan sederet blunder diplomasi yang dilakukan pemerintahan Trump, nampaknya peluang berakhirnya krisis politik di Semenanjung Korea semakin jauh dari kenyataan.