Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Sitara, Gadis Afghanistan yang Dipaksa Menjadi Laki-laki

Kompas.com - 23/04/2018, 17:24 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

Sumber AFP

KABUL, KOMPAS.com - Sebagai seorang perempuan Sitara Wafadar (18) ingin memiliki rambut panjang seperti anak perempuan lainnya.

Namun, remaja ini harus memendam keinginan itu karena selama 10 tahun terakhir sang ayah memaksanya untuk menjadi seorang laki-laki.

Ayah dan ibu Sitara hanya memiliki lima anak perempun dan tak satu pun anak laki-laki. Alhasil, Sitara harus menjalani tradisi "bacha poshi" yang dalam bahasa Dari berarti "berpakaian seperti laki-laki".

Hal ini harus dilakukan, sebab di negeri yang amat memuja kelelakian seperti Afganistan seseorang di dalam keluarga harus melakukan tugas sebagai laki-laki.

Baca juga : Kisah Tim Sepak Bola Wanita Afghanistan, Mulai Diludahi hingga Dibom

Jika tak ada anak laki-laki di keluarga itu, maka salah satu anak perempuan harus berpakaian seperti laki-laki agar bisa menjalankan kewajibannya sebagai putra keluarga.

Sitara yang tinggal bersama keluarganya di desa miskin di provinsi Nangarhar, Afghanistan ini sudah menjadi "lelaki" hampir di sepanjang hidupnya.

Setiap pagi, Sitara mengenakan celana panjang, kemeja, serta sandal khas Afghanistan. Sesekali dia menutupi rambut pendek coklatnya dan membuat suaranya lebih berat.

"Saya tak pernah berpikir lagi bahwa saya seorang perempuan," kata Sitara yang bekerja di sebuah pabrik batu bata bersama ayahnya.

"Ayah saya selalu berkata 'Sitara seperti putra sulung saya'. Terkadang, saya menghadiri pemakaman sebagai putra sulung ayah saya," tambah Sitara.

Tradisi "bacha pochi" sudah mengakar sejak lama di Afghanistan yang lebih menghargai anak laki-laki ketimbang anak perempuan.

Baca juga : Semangat Ibu di Afghanistan Garap Ujian Sambil Menyusui Bayinya

Keluarga yang tak memiliki anak laki-laki akan membuat putri mereka mengenakan pakaian pria agar bisa melakukan pekerjaan tanpa mendapatkan pelecehan.

Di sisi lain, para gadis ini rela berperan menjadi pria sehingga mereka bisa merasakan kebebasan di luar rumah.

Sitara Wafadar harus menjalani hidup sebagai pria karena menjalankan sebuah tradisi kuno Afghanistan.AFP/NOORULLAH SHIRZADA Sitara Wafadar harus menjalani hidup sebagai pria karena menjalankan sebuah tradisi kuno Afghanistan.
Biasanya, kewajiban menjadi pria ini berakhir saat seorang gadis mencapai masa akil balik. Namun, Sitara mengatakan, dia tetap menjadi "laki-laki" untuk melindungi diri saat bekerja.

"Sebagian besar orang di tempat kerja tak menyadari bahwa saya adalah perempuan," kata Sitara.

"Jika merekat tahu bahwa saya adalah gadis 18 tahun maka saya akan mengalami masalah termasuk diculik," ujar Sitara.

Sitara mulai bekerja di pabrik batu bata itu sejak berusia delapan tahun, membantu ayahnya yang juga bekerja di tempat itu.

Baca juga : Tak Ada Perang, Inilah Wilayah Paling Damai di Afghanistan

Keempat kakak perempuan Sitarra sudah menikah dan mereka kemudian tinggal di rumah untuk mengurus keluarga.

Setiap hari Sitara bekerja membuat 500 buah batu bata untuk upah sebesar 2 dolar AS atau sekitar Rp 36.000 mulai pukul 07.00 hingga 17.00 petang.

"Saya tak malu dengan apa yang saya kerjakan tetapi banyak orang mengatakan saya sudah akil balik dan tak harus bekerja di pabrik batu bata," ujar Sitara.

"Tapi apa yang harus saya lakukan kemudian? Saya tidak memiliki pilihan lain," tambah dia.

Sementara ayah Sitara, Noor mengatakan, Tuhan tak memberinya anak laki-laki sehingga tak ada pilihan lain selain membuat putrinya menjadi laki-laki dan bekerja.

Noor mengatakan dia berutang 250.000 Afghani atau hampir Rp 50 juta kepada pemilik pabrik dan kerabatnya untuk biaya pengobatan sang istri yang menderita diabetes.

"Jika saya memiliki putra maka saya tak menghadapi masalah seperti ini dan kehidupan putri saya akan tenang dan jauh lebih baik," ujar Noor.

"Semua tanggung jawab ada di bahu saya dan Sitara, kami harus menghidupi keluarga dan membayar utang," tambah dia.

Tradisi bacha poshi biasanya dilakukan di kawasan-kawasan yang masih konservatif di Afghanistan. Demikian pakar sosiologi dari Universitas Kabul Baryalai Fetrat.

Baca juga : Kagum Perempuan Indonesia, Ibu Negara Afghanistan Ingin Berkunjung Lagi

Namun, setelah bertahun-tahun menjadi laki-laki, maka seorang gadis bisa kebingungan menghadapi identitas gender dan statusnya di masyarakat yang amat maskulin seperti Afghanistan.

"Para gadis ini kesulitan kembali ke status normalnya atau bertindak sebagai istri yang menuruti kata suami. Kondisi itu bisa berujung pada depresi dan kekerasan rumah tangga," kata Fetrat.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber AFP
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com