Pisut tidak puas dengan periode singkat itu. Ia menolak tawaran ibunya tersebut. “Karena saya tidak menjadi biksu saat itu, saya pergi ke Inggris untuk pendidikan Master di Sosiologi. Saya masih penasaran pemikiran akan hidup,” katanya.
Lalu, ayahnya jatuh koma setelah enam tahun melawan kanker hati. Pisut langsung kembali ke Bangkok. Setelah sepuluh hari tak sadarkan diri, sang ayah pun wafat.
Kematian ayahnya mengubah pandangan Pisut terhadap kehidupan. Pisut, saat itu 23 tahun, kembali ke mimpinya untuk menjadi biksu, terusik dengan ide kematian.
“Jika saya menunggu saat yang tepat, itu tidak akan terjadi. Harus saat itu, atau tidak sama sekali,” tegasnya.
Saat ini, Pisut berusia 36 tahun dan tinggal di Wat Saket, Kuil Gunung Emas di Bangkok.
Phra Visuddho melihat konflik di wilayah Selatan sebagai penghalang terbesar untuk Thailand, dan juga untuk keyakinannya. Pandangannya – tak mengejutkan – cukup konservatif.
“Tiap kali saya mendengar kabar tentang kekerasan, saya selalu mengasosiasikan dengan pelaku yang ingin mendorong agendanya melalui aksi ekstrimis. Solusinya sulit,” papar Visuddho.
Walaupun ia bersikukuh tidak memiliki perasaan buruk terhadap penganut agama lain, biksu kelahiran Bangkok ini secara tidak langsung mengungkapkan sebuah pemisah penting di Asia Tenggara yang muncul dalam konflik pemeluk agama yang berbeda, yang kebetulan adalah representasi agama mayoritas dengan minoritas.
Para biksu menawarkan sebuah solusi segera yang ia percaya perlu diambil oleh Pemerintah Thailand. “Mereka perlu menjadikan Buddha sebagai agama negara,” ujarnya.
Tak hanya Phra Vissudho yang mendukung kebijakan yang dapat menciptakan konsekuensi buruk untuk Kawasan Selatan. Desakan untuk menjadikan Buddha sebagai agama nasional ke dalam konstitusi telah diajukan dua kali dalam sepuluh tahun terakhir.
Sejak 2004, provinsi seperti Pattani, Yala, Narathiwat, dan beberapa bagian di Songkhla telah mengalami peningkatan dalam kekerasan. Diduga, separatis Barisan Revolusi Nasional (BRN) telah memimpin serangan terhadap populasi Thailand yang mayoritas Buddha.
Agama lain yang bersanding dengan Buddha di Thailand, seperti Islam, memegang peranan penting dalam identitas Patani.
Kerajaan tersebut baru dianeksasi Thailand (saat masih menjadi Siam) pada 1902. Oleh karena itu, kawasan tersebut masih memegang identitas yang unik, adat, agama, dan bahasa yang berbeda.
Selama 14 tahun setelah kekerasan kembali marak, 7.000 orang telah tewas dan 12.500 terluka. Meskipun ada upaya juga dari pihak internasional dan domestik, masih belum ada titik terang dari konflik seabad ini.
Di saat yang sama, ia merasa bahwa metode yang digunakan oleh para separatis menjadi semakin brutal. Terutama ia khawatir akan penargetan guru-guru Buddha.
Ketika ditanya mengenai peran komunitas Buddha dalam mengakhiri kekerasan ini, jawaban Phra Visuddho seakan tak acuh dan juga tak dalam. “Buddha mengajarkan kasih dan bagaimana memahami sesama. Kami para biksu akan membantu mengurangi tensi antaragama,” katanya.
“Buddha akan mendukung agama lain. Buddha tidak memaksa,” paparnya lebih lanjut. Namun, kata Pisut, para kaum etnis dan agama garis keras perlu sadar bahwa tanggung jawab atas terbentuknya masyarakat yang damai dan progresif ada di tangan pihak mayoritas dan minoritas secara berimbang.
Semua memerlukan keseimbangan – sesuatu yang juga ditekankan dalam agama Buddha. Perdamaian di antara beragam kelompok etnis dan agama di Asia Tenggara tidak akan terjadi kecuali jika kaum minoritas diberi ruang untuk menganut kepercayaan, budaya, dan bahasa mereka, dalam rangka mencari tempat di negara mereka masing-masing.
Sepertinya untuk Buddha Thai sebagai mayoritas dan juga agama lain yang bersanding, mereka sangat perlu untuk lebih “melihat ke dalam”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.