Sepertiga dari jumlah pelaku hikikomori bahkan telah menarik diri dari masyarakat selama lebih dari tujuh tahun. Jumlah itu meningkat 16,9 persen dari survei 2009.
Namun, survei tersebut menghitungkan jumlah pelaku hikikomori dengan usia di bawah 39 tahun. Saat ini, pemerintah memutuskan untuk mulai melakukan survei hikikomori terhadap penduduk usia antara 40 hingga 59 tahun.
Mereka terluka
Alasan yang mendorong masyarakat untuk menutup diri belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Banyak survei yang menyatakan, mereka berhenti berinteraksi dengan komunitas setelah terpuruk dalam pekerjaan, sekolah, atau gagal dalam mencari kerja.
Pakar psikologi Kayo Ikeda mengatakan, beberapa orang yang menderita skizofrenia akan melakukan hikikomori.
Skizofrenia merupakan gangguan mental kronis yang menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku.
"Apa yang kami ketahui adalah mereka telah terluka. Mereka diusik dan mengalami masalah interpersonal dalam pekerjaan," ucapnya.
Baca juga : Skizofrenia Bisa Dideteksi Sejak dalam Kandungan
Rika Ueda, seorang pekerja lembaga yang membantu orangtua dengan anak-anak pelaku hikikomori, mengatakan stigma sosial dapat membuat situasi makin memburuk.
"Keluarga dengan anak-anak hikikomori sangat malu dengan diri mereka. Orangtua berupaya menyembunyikan kondisi itu dari masyarakat sehingga menjadi terisolasi tanpa dapat meminta pertolongan," ujar Ueda.
Menyadari permasalahan itu terus meningkat, kementerian kesehatan Jepang mengajukan dana sebesar 2,53 miliar yen atau Rp 329 miliar pada tahun anggaran selanjutnya untuk membantu pelaku hikikomori.
Mereka juga akan memperoleh bantuan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kondisi mereka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.