Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah: Pembunuhan Malcolm X

Kompas.com - 21/02/2018, 12:19 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

KOMPAS.com - Pada 21 Februari 1965, Malcolm X, seorag aktivis pergerakan dan tokoh Muslim Afrika Amerika, tewas dibunuh di kota New York.

Pembunuh Malcolm adalah kelompok pesaing berjuluk Black Muslims. Malcolm dibunuh saat berpidato di hadapan anggota Organisasi Persatuan Afro-Amerika.

Pria kelahiran 19 Mei 1925 di Nebraska dengan nama Malcolm Little itu tak memiliki masa kecil yang bahagia.

Ayahmnya, James Earl Little, seorang pendeta Baptis dikenal karena mendukung ide-ide nasionalisme kulit hitam, Marcus Garvey.

Baca juga : Peringatan 50 Tahun Terbunuhnya Malcolm X Digelar di Harlem

Akibat ancaman organisasi ekstrem kulit putih Klu Klux Klan, keluarga Little kemudian pindah ke Lansing, Michigan.

Di kota ini, ayah Malcolm terus menyisipkan ide-ide perjuangan kulit hitam dalam setiap kotbahnya meski berulang kali mendapat ancaman.

Pada 1931, saat Malcolm berusia enam tahun, ayahnya tewas dibunuha kelompok supremasi kulit putih Black Legion dan pemerintah Michihan menolak untuk mengusut kasus itu.

Kehilangan ayah seolah belum cukup untuk Malcolm. Saat usianya mencapai 13 tahun,sang ibu harus dirawat di rumah sakit jiwa

Ditinggal kedua orangtuanya, Malcolm melalui masa kecilnya dari satu panti asuhan ke panti asuhan lainnya.

Hidup tanpa asuhan orangtua membuat hidup Malcolm tak terarah. Dia keluar dari sekolah dan pindah ke kota Boston, di mana dia terjerumus dalam aktivitas kriminal.

Pada 1946, di kala usianya baru 21 tahun, untuk pertama kali Malcolm mencicipi hidup di penjara setelah dia dinyatakan terlibat dalam sebuah perampokan.

Baca juga : Mengenal Astronot Kulit Hitam Pertama yang ke Luar Angkasa

Di dalam penjara, Malcolm kemudian berkenalan dengan sosok Elijah Muhammad, pemimpin organisasi Nation of Islam, yang anggotanya dikenal dengan nama Black Muslims.

Organisasi ini mendukung nasionalisme kulit hitam dan mengecam pemisahan warga secara rasial. Organisasi ini juga menyebut warga Amerika keturunan Eropa sebagai "setan amoral".

Malcolm X dikenang sebagai tokoh perjuangan hak sipil dan kesetaraanBBC Indonesia Malcolm X dikenang sebagai tokoh perjuangan hak sipil dan kesetaraan
Perkenalannya dengan Elijah Muhammad memberi pengaruh besar bagi Malcolm, yang kemudian memeluk Islam dan mengganti nama belakangnya dengan "X".

Mengapa demikian? Dia menyebut nama keluarganya "Little" menunjukkan bahwa dia merupakan budak bangsa kulit putih dan leluhur ayahnya dipaksa menggunakan nama itu.

Malcolm menyebut huruf "X" di belakang namanya melambangkan identitasnya sebagai bangsa Afrika yang dihilangkan dengan paksa.

Setelah menjalani hukuman selama enam tahun, Malcolm dibebaskan dan menjadi anggota yang loyal bagi Nation of Islam di Harlem, New York.

Baca juga : Hari Ini dalam Sejarah: Pembunuhan Martin Luther King Jr

Berbeda dengan tokoh pejuang hak sipil kulit hitam lainnya seperti Martin Luther King Jr, Malcolm mendorong warga kulit hitam untuk membela diri dan membebaskan seluruh bangsa Afrika-Amerika dengan cara apapun.

Dengan kemampuan mengolah kata dan berpidatonya yang nyaris tak ada duanya, Malcolm X sangat dihormati dan dikagumi komunitas Afrika-Amerika tak hanya di New York, tetapi juga di seluruh Amerika Serikat.

Pada awal 1960-an, Malcolm mulai mengembangkan sebuah filosofi yang lebih blak-blakan dibanding yang digunakan Elijah Muhammad, sang mentor.

Menurut Malcolm, Elijah dianggap tak cukup mendukung gerakan perjuangan hak-hak sipil bangsa Afrika-Amerika.

Pada akhir 1963, Malcolm menyebut Presiden John F Kennedy dibunuh karena perbuatan dan perkataannya sendiri.

Pernyataan ini membuat Elijah Muhammad menilai, Malcolm sudah terlalu kuat dan setiap saat bisa menyingkirkannya dari pucuk pimpinan Nation of Islam.

Apalagi, sebagai pemimpin Nation of Islam, Elijah Muhammad sudah melarang pengikutnya untuk mengomentari pembunuhan Kennedy.

Beberapa bulan kemudian, Malcolm secara resmi keluar dari organisasi itu dan disusul dengan langkahnya menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

Di Tanah Suci, Malcolm sangat terpukau bagaimana umat Muslim sedunia bisa bersatu tanpa dipengaruhi hal-hal berbau rasial.

Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji dan sudah mengganti namanya menjadi Malik El-Shabazz, dia mendirikan Organisasi Persatuan Afrika-Amerika pada Juni 1964.

Organisasi ini memperjuangkan identitas bangsa Afro-Amerika dan menegaskan bahwa rasialisme, bukan bangsa kulit putih, yang menjadi musuh terbesar bangsa Afrika-Amerika.

Gerakan yang mengusung ideologi baru ini langsung mendapatkan banyak simpati dan filosofinya yang lebih moderat langsung memengaruhi gerakan perjuangan hak-hak sipil.

Filosofi yang diusung Malcolm X ini banyak memengaruhi terutama para pemimpian Komite Kordinasi Mahasiswa Anti-kekerasan.

Pada 1964, Malcolm X kembali mengunjungi Afrika. Dalam perjalanannya itu Malcolm bertemu para petinggi, memberikan wawancara, serta berbicara di radio dan televisi.

Baca juga : Hidden Figures, Tiga Perempuan Kulit Hitam Melawan Diskriminasi

Dia berkunjung ke beberapa negara seperti Mesir, Ethiopia, Tanganyika (sekarang Tanzania), Nigeria, Ghana, Guinea, Sudan, Senegal, Liberia, Aljazair, dan Maroko.

Pada 23 November 1964, dalam perjalanan pulang ke AS, Malcolm singgah di Paris, kemudian mampir ke London, dan pada 3 Desember terlibat dalam sebuah debat di Oxford.

Nama Malcolm X diabadikan sebagai salah satu nama jalan di kota New York, AS.Wikipedia Nama Malcolm X diabadikan sebagai salah satu nama jalan di kota New York, AS.
Sepanjang 1964, di saat konfliknya dengan Nation of Islam meningkat, Malcolm X berulang kali mendapatkan ancaman.

Bahkan mobil Malcolm X pernah dibom dan FBI berulang kali mendapatkan informasi bahwa Malcolm X akan dihabisi.

Puncaknya pada Juni 1964, Nation of Islam mengambil kembali rumah yang didiami Malcolm X di Queens, New York.

Alhasil, Malcolm dan keluarganya diminta pindah tetapi pada 14 Februari 1965, sehari sebelum sidang untuk menentang pengusiran ini, rumah itu hancur dibakar orang tak dikenal.

Baca juga : Menakar Nasib Warga Kulit Hitam dalam Pemerintahan Trump

Pada 21 Februari 1965, Malcolm sedang mempersiapkan pidatonya di Audubon Ballroom di Manhattan saat satu orang di antara 400 hadirin tiba-tiba berteriak.

"Hei, Negro menyingkirlah dari kehidupanku," ujar orang itu.

Saat Malcolm dan pengawalnya mencoba mengusir pria tersebut, seorang pria lain menghambur ke depan dan menembak dada Malcolm X.

Dua orang lainnya yang membawa senapan mesin otomatis kemudian datang menyerang dan menembak Malcolm yang sudah tersungkur.

Malcolm X dinyatakan meninggal dunia pada pukul 15.30, tak lama setelah tiba di RS Columbia Presbyterian.

Hasil otopsi mengidentifikasi 21 luka tembak di dada, bahu kiri, lengan , dan kaki termasuk satu luka menganga akibat tembakan pertama.

Salah seorang pelaku penembakan Talmadge Hayer dihajar pengunjung yang hadir di acara itu sebelum polisi tiba. Saksi mata menyebut pelaku lain adalah Norman 3X Butler dan Thomas 15X Johnson.

Baca juga : Di AS, Kemungkinan Warga Kulit Hitam Jadi Korban Pembunuhan Sangat Besar

Ketiga pelaku penembakan kemudian dinyatakan bersalah pada Maret 1966 dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Malcolm X dimakamkan di taman makam Ferncliff, Hartsdale, New York.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com