Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Sudah Saatnya Kah Kita Berpaling ke India?

Kompas.com - 29/01/2018, 17:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

DENGAN perkembangan China yang tak terelakkan, ahli strategi global semakin berpaling, dengan cukup cemas, ke India.

Mengapa?

Banyak yang berharap bahwa India, dengan populasinya yang besar dan pertumbuhan PDB yang meroket, akan menjadi pesaing tetangganya di utara tersebut.

Dalam konsep geopolitik, rakyat India diperkirakan akan melawan ekspansi China ke Samudera Hindia (yang disembunyikan dalam konsep inisiatif One Belt One Road).

Pekan lalu para pemimpin ASEAN bertemu di New Delhi dengan Perdana Menteri Narendra Modi untuk memperingati 25 tahun hubungan diplomatik. Seorang skeptis mungkin akan bertanya apakah sesungguhnya ada yang layak diperingati?

Meskipun begitu, pertemuan ini tetap signifikan, karena untuk Asia Tenggara, India, sangatlah penting.

Kawasan kita telah lama mengalami hubungan kultural, agama, dan perdagangan dengan seluruh bagian benua tersebut. Kota seperti Georgetown, Yangon, Jakarta, dan Singapura telah terpengaruh oleh berjuta-juta pesinggah yang telah menyebrangi Teluk Bengal selama berabad-abad.

Meskipun banyak dari kita mengeluh tentang kepemimpinan Modi yang tak menentu, ditambah dengan kebijakannya yang sering terkesan pemurah, Asia Tenggara akan tetap menjadi penerima “keuntungan” paling besar dari kebangkitan India, meskipun mungkin tidak setinggi yang sebelumnya diperkirakan.

Ketika para pemimpin ASEAN menuju New Delhi, saya tenggelam dalam sebuah bagian dari sejarah Asia Tenggara/India yang kecil, tapi sangat menarik, yakni diaspora India Tamil Chulia di Georgetown, Penang.

Saya sedang memperhatikan komunitas Chulia di Penang, dan bagaimana mereka telah berkontribusi terhadap pertumbuhan dan pembentukan Malaysia. Sumber utama saya adalah salah satu buku karya Khoo Salma Nasutian, The Chulia in Penang.

Sudah jarang digunakan lagi sejak awal 1900-an, Chulia adalah sebuah panggilan dari bangsa Eropa kepada orang India Selatan yang datang ke peninsula Melayu melalui Penang.

Tentunya, pengaruh India sudah dulu mencapai kawasan ini berabad-abad sebelumnya, terbukti dengan keberadaan Candi Prambanan di Jawa Tengah, sebuah situs dari abad ke-9 dalam daftar UNESCO Heritage.

Warisan Islam-Jawa juga sering dikaitkan dengan  Wali Songo yang legendaris, kisah sembilan wali Muslim yang terkenal akan kekuatan gaibnya, yang menjejakkan  kakinya di pulau Jawa pada abad ke-15.

Beberapa sejarawan telah melacak asal-usul mereka sampai ke wilayah Gujarat dan Malabar, tempat lahirnya kaum India Malayali.

Kaum Chulia pertama kali menyeberang Samudera Hindia dari tempat yang dulu pada 1700-an dikenal sebagai Tamil Nadu.

Mereka berperan penting dalam membangun ekonomi dan identitas negara kepulauan tersebut. Mayoritas Chulia adalah pedagang kain. Mereka yang mendorong perdagangan ekspor/impor dengan nilai 86,000 straits dollars (lebih dari 100 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,3 triliun) pada 1830,  dua kali nilai perdagangan opium.

Dengan didirikannya perusahaan percetakan, mereka juga mengubah Penang menjadi sebuah pusat intelektual.

Selain itu, toko-toko mereka juga menyebar ke seluruh peninsula. Melalui wakaf, komunitas Muslim Tamil mendirikan sepertiga dari masjid di Georgetown pada awal 1900-an, termasuk Masjid Kapitan Kling yang termasyur. Dari Penang, kaum Chulia menyebar sampai Aceh dan Singapura melalui kapal dagang.

Bahkan nama-nama tempat di kawasan tersebut memiliki pengaruh India, seperti “Jakarta”, “Kamboja”, dan “Singapura” semua memiliki akar Sanskerta. “Kamboja” berasal dari kata Sanskerta “Kambuja”, mengacu ke kaum kuno dari wilayah India yang disebut dalam naskah kuno “Dekrit Ashoka”.

Pada hakikatnya, semua kebudayaan besar di kawasan ini juga telah mengadopsi kisah epik dari India, seperti “Mahabharata” dan “Ramayana”, ke dalam dongeng mereka.

Jejak tersebut sampai saat ini senantiasa memberi pengaruh terhadap budaya kontemporer, misalnya dalam bentuk Navin Rawanchaikul, seorang seniman dari Thailand dengan asal-usul India. Ia telah mendokumentasikan kehidupan diaspora India di kampung halamannya Chiang Mai.

Oleh karena itu, sangat disayangkan bahwa India (selain Bollywood) telah gagal dalam merebut tempatnya yang pantas dalam imajinasi populer Asia Tenggara.

Melihat ke depan, ASEAN bisa sangat diuntungkan melalui persahabatannya dengan raksasa Asia Selatan tersebut, yang menaungi 18 persen populasi dunia.

Presiden Joko Widodo disambut PM India Narendra Modi saat berkunjung ke New Delhi untuk menghadiri KTT India-ASEAN.Handout / PIB / AFP Presiden Joko Widodo disambut PM India Narendra Modi saat berkunjung ke New Delhi untuk menghadiri KTT India-ASEAN.
Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi India akan mencapai lebih dari 7 persen tahun ini, melampaui 6,8 persen pertumbuhan China. Forum Ekonomi Dunia (WEF) pun memprediksikan India akan menjadi ekonomi kedua terbesar di dunia pada 2050, setelah China.

Populasi gabungan ASEAN dan India mencangkup hampir sepertiga populasi dunia. PDB gabungan mereka juga mencapai 3,8 triliun dollar AS (sekitar Rp 50.666 triliun).

Lebih dari dua pertiga impor minyak sawit India, yang mencapai 10 miliar dollar AS (sekitar Rp 133,3 trilun), berasal dari Malaysia dan Indonesia.

Tahun lalu, mereka mengimpor 3 juta ton minyak sawit dari Malaysia dan lebih dari 2 juta ton dari Indonesia. Surplus perdagangan terbesar Indonesia pun terjadi dengan India, sekitar 10,6 miliar dollar AS (sekitar Rp 141,3 triliun).

Sedangkan sektor Proses Bisnis Outsourcing (BPO) Filipina yang menghasilkan 28 miliar dollar AS (sekitar Rp 373,3 triliun) sedang bersaing ketat dengan India, yang mencapai 30 miliar dollar AS (sekitar Rp 400 triliun).

Wisatawan dari India juga sama menguntungkannya dengan wisatawan dari China. Sebagai contoh, jumlah wisatawan India ke Indonesia naik 39 persen tahun lalu, tertinggi dibandingkan negara-negara lain.

Selagi banyak yang mempertanyakan komitmen demokrasi India (dan juga Modi), saya yakin kenyataannya akan tetap begitu.

Saat institusi publik independen dan kebebasan pers diserang, mereka sepatutnya dapat melihat kelebihan-kelebihan yang dinikmati kaum elit.

Demokrasi India yang beragam memberikan sebuah pilihan alternatif dibandingkan dengan politik partai tunggal China, yang sejatinya masyarakat homogen.

Tidak sepatutnya kita berpikir bahwa pengaruh jangka panjang China di wilayah tersebut selalu melebihi pengaruh dari India. Justru hal sebaliknya mungkin terjadi, di mana kita juga sepatutnya mengingat hal ini.

Selagi kita memperhatikan ketegangan politik di India, kita sebagai sebuah kawasan juga tidak bisa senantiasa berpaling dari China.

Tantangan ke depannya akan banyak. Namun imbalan untuk kita karena melibatkan diri dengan pihak asing yang tidak asing ini, juga akan banyak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com