Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perbudakan di Libya: Kisah dari Dalam Penampungan

Kompas.com - 26/01/2018, 17:34 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

Sumber Al Jazeera

 

Dijual dan Terus Dijual
Untungnya, Sami masih mempunyai sedikit uang yang diberikan oleh ibunya. Sebelum diizinkan keluar, Sami harus tinggal di sebuah apartemen di kta bernama Az Zawiya.

Dalam perjalanan untuk diselundupkan keluar dari Libya, Sami dan para penyelundup dihentikan oleh penjaga pantai Libya.

Sami kemudian dibawa ke Tripoli. Di sana, agar bisa bebas, Sami harus membayar 1.225 dolar AS, atau Rp 16,3 juta.

Namun, karena sudah tidak memiliki uang, Sami hanya pasrah tatkala penjaga pantai itu menjualnya kepada seorang pedagang budak bernama Walid.

"Nama aslinya adalah Tawalde. Namun, orang Libya memanggilnya Walid," tutur Sami.

Baca juga : Perancis Desak PBB Beri Sanksi ke Pedagang Budak di Libya

Walid membawa tahanan penjaga pantai Libya itu kembali ke Bani Walid, dan ditempatkan di sebuah penampungan yang berisi 320 orang.

Mereka hanya diberi sepotong roti untuk makan. Bahkan, pernah tidak diberi makan sama sekali.

"Walid selalu berkata 'tidak ada uang, tidak ada makanan', Dia tidak peduli jika kami mati kelaparan," beber Sami.

Jika ingin bebas, Sami berujar bahwa Walid meminta uang 2.200 dolar AS, atau Rp 29,2 juta. Sami menghabiskan tiga bulan di sana sebelum dia dijual kepada seorang petani.

Setelah dua hari, Sami menemukan cara untuk kabur, dan bersembunyi di sebuah masjid, dan menyamar sebagai petugas kebersihan.

Selasa masa persembunyiannya, Sami berkenalan dengan pria Libya yang berjanji membantunya ke Tripoli jika membayarnya 750 dinar Libyar, sekitar Rp 7,5 juta.

Karena Sami tidak memiliki uang, pria itu membawa Sami ke rumahnya, dan menjadi budak selama dua bulan, sebelum benar-benar dibawa ke Tripoli pada September 2017.

Ketika sampai di Tripoli, Sami mendaftarkan diri ke Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), dan kemudian bekerja sebagai pengurus masjid.

Dia menjelaskan, dirinya kabur dari Eritrea karena benci dengan kediktatoran Isaias Afwerki.

Namun, dia sama sekali tidak menyangka jika di luar negaranya, terdapat dunia yang sangat kejam dan tidak manusiawi.

"Tidak apa-apa jika saya tewas di laut dari pada berada di neraka seperti Libya," tutur Sami.

Baca juga : Macron ke Afrika Ketika Perbudakan di Libya Tuai Kecaman Global

Yonathan Tekle, 24 Tahun
Tekle dulunya adalah seorang tentara sebelum memutuskan desersi, dan kabur dari Eritrea di Desember 2016.

Awalnya, dia dijanjikan bakal dibawa ke Libya oleh seorang penyelundup Sudan.

Namun, setelah menyeberangi perbatasan Sudan, si penyelundup itu meminta uang lebih banyak alih-alih sepakat mengantar dia hingga ke Khartoum.

Karena Tekle tidak punya uang, dia disika oleh para penyelundup yang mendesaknya agar menghubungi keluarganya, dan mengirim sejumlah uang.

Tekle disiksa selama tiga bulan sebelum keluarganya bisa menebus dirinya dengan harga 6.000 dolar AS, atau Rp 79,8 juta.

Penyelundup itu kemudian mengantarnya hingga ke Khartoum. Di sana, dia bekerja sebagai petugas kebersihan hotel selama enam bulan.

Waktu yang cukup bagi Tekle untuk mengumpulkan uang guna membayar para penyelundup sebesar 1.600 dolar, sekitar Rp 21,2 juta.

Baca juga : Trump Tawarkan Kewarganegaraan kepada 1,8 Juta Imigran Ilegal, tapi...

Halaman:
Sumber Al Jazeera
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com